Pertemuanku dengan Ken
yang keduakali tentunya lebih akrab. Apalagi pasca di Surabaya lalu, kami lebih
sering komunikasi lewat media sosial. Ken sering menghubungiku kalau cerpennya dimuat
di Padang Ekspres. Aku dengan senang hati membelikan dan membawakannya di
pertemuan kami yang kedua ini. Ada sekitar empat atau lima koran yang kubawa dan
itu semua ada cerpen Ken di dalamnya. Ken menghadiahkanku buku kumcer
terbarunya “Museum Anomali” beserta tanda tangan dan wording.
Berbicara tentang Ken
yang sekarang dan setahun lalu, Ken yang sekarang tubuhnya lebih berisi dan
berbicaranya juga sudah mulai banyak. Ken juga mahir membully Vivi dan Nunuk. Namun
kebiasaannya yang lama tetap tidak hilang, yaitu cepat gerah sehingga
membuatnya mandi berkali-kali, akan terlihat sedikit panik ketika akan tampil
di depan publik, dan ekspresi berfoto yang begitu flat.
Tujuan diadakan Grand
Final Unsa Ambassador secara off air adalah agar kedua finalis terlatih
mengeluarkan pendapat. Selain itu juga melatih mental dua finalis ini agar bisa
bicara lepas di depan khalayak umum secara spontan. Pada hari penobatan ini,
kedua finalis akan dicerca oleh para juri dengan berbagai pertanyaan. Nilai
dari sesi tanya jawab inilah yang amat menentukan siapa yang akan menjadi Unsa
Ambassador selanjutnya. Untukku sendiri pada tahun lalu, memang atmosfernya
menegangkan sekali. Ditambah lagi jurinya memang jago soal nanya-nanya, hehe.
Bersama Ken dan Mbak Ajeng setahun lalu
Para Juri setahun lalu
Pagi itu mobil yang
akan membawa kami ke Rindu Rasa telah datang. Kami akan dibagi dua trip untuk
ke sana. Finalis top 2 akan menyusul belakangan. Kami melewati stadion
Pakansari tempat akan dilangsungkannya final AFF Indonesia vs Thailand besok
lusa. Setibanya di sana, aku, Ken, Uncle, Uda Agus dan ditambah satu keponakan
Uncle yang turut serta, mulai prepare dan menyusun draft acara hari ini. Pada
saat ini pula Mas Oke Sudrajat muncul dan kami memiliki kesempatan yang cukup
panjang untuk mengobrol. Aku tidak mau posting foto dengan Mas Oke, nanti Mbak
Endang Istri Astuti malah kejang-kejang melihatnya, wkwk. Tidak lama
Kang Sandza juga muncul setelah menempuh perjalanan jauh dari Bandung. Kami
sempat bercakap-cakap sebelum acara dimulai. Barangkali ini hanya perasaanku
saja kalau Kang Sandza yang di foto dengan yang dunia nyata agak beda. Wajah
Kang Sandza yang sebenarnya lebih bercahaya dan bening menurutku.
#serius
Tim UNSA
Setelah hampir dua jam
mempersiapkan ini itu, menjelang pukul 11 acara dimulai. Agenda pertama adalah
Grand Final Unsa Ambassador. Karena pernah berada di posisi yang sama setahun
lalu, aku sangat mengerti dengan kegugupan Fian dan Vivi. Terlebih mereka
disuruh duduk bersanding di depan layaknya pengantin. Untunglah ini
tidak terjadi padaku setahun lalu. Kami memang disuruh duduk berdampingan namun
tidak di depan seperti halnya Vivi dan Fian yang langsung menjadi titik pusat
pandangan hadirin hadirot yang kepalanya kejedot.
Nervous abis
Kedatangan Atissa Puti—penulis
cerpen “Hari ke-40” dan merupakan pemenang 1 lomba menulis bersama Uda Agus season
6—menjadi angin segar dalam rangkaian acara. Tissa yang sudah wara-wiri jadi
pembawa acara dimana-mana langsung menjadi host dan memandu jalannya sesi
wawancara. Maka saat itu para juri pun langsung dihimbau untuk menduduki meja
juri. Mereka adalah Uda Agus, Ken, Kang Khoer, Kang Sandza, Mas Oke, dan Kang
Achoey.
Dewan juri yang terhormat
Uda Agus sekaligus yang
menjadi ketua dewan juri memulai pertanyaan dengan apa arti sahabat menurut
Vivi dan Fian. Fian mendapat kesempatan pertama menjawab. Lalu... bla bla bla.
Meluncurlah dari bibir mereka masing-masing about friend and friendship. Aku
pikir ini pemanasan yang cukup baik dengan harapan mereka sudah on fire untuk
pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan kedua dari Uda Agus membuat fiksi
mini tentang sahabat. Vivi mendapat giliran pertama dan terlihat berpikir agak lama
untuk menjawab. Kemudian meluncur juga dari bibirnya sesuatu tentang sahabat.
Vivi tengah konsentrasi menjawab pertanyaan
Menyoal tentang fiksi
mini sendiri, tahun lalu aku juga mendapat pertanyaan begini dari Aiman Bagea
yaitu membuat fiksi mini tentang hujan. Aku mendapat pengalaman buruk. Dengan
panjang lebar aku berkisah tentang penantian seseorang dalam hujan. Pokoknya
ambigu banget. Ketika giliran mbak Ajeng, beliau hanya melontarkan beberapa
kata-kata saja, and its very wonderfull. Lagi pula, sejak dulu Uda Agus sering
mengingatkanku untuk fiksi mini sebenarnya dengan satu kalimat saja sudah
mewakili. Maka dalam hati aku sudah berteriak-teriak agar Vivi tidak terlalu
berpanjang-panjang. Buat saja satu kalimat misalnya,
“Sudah lama sahabatku
tidak menemuiku, kali ini ia datang dengan membawa banjir bandang yang ia taruh
di kedua tangannya.”
Ini aku rasa sudah
memenuhi apa yang diinginkan Uda Agus. Ketika giliran Fian, sedikit lebih baik
dari Vivi namun ia juga berpanjang-panjang dalam bercerita. Intinya sih belum
sesuai harapanku. Ini pandangan pribadiku lho ya, gaes. Hehehe.
Selanjutnya giliran Ken
memberi pertanyaan. Aku kurang menyimak apa pertanyaan dari si pemilik pabrik
cerpen ini karena sibuk jepret kiri-kanan-depan-belakang. Ketika giliran Kang
Khoer, aku baru dapat kembali menyimak.
Pertanyaannya sih awkawkrd banget.
Pertanyaan pertama, tanpa basa-basi Kang Khoer langsung meminta sebutkan salah
satu cerpen Prof. Budi Darma dan ceritakan sekilas. Langsung deh tuh anak dua
kelimpungan. Padahal malam sebelumnya kami sempat menyinggung tentang kumcer
Orang-Orang Bloomington. Bukannya menjawab, yang terjadi selanjutnya adalah edisi
maaf-maafan lahir batin karena ini anak dua tidak tahu jawabannya.
Hellooo, ini bukan edisi lebaran ya gaes pake maaf-maafan segala. Kayak aku dan
Mbak Ajeng tahun lalu dong, meski kita tidak tahu lagu apa yang dimaksud Mas
Masdar Zainal dan cerpen milik siapa pula yang dia bacakan, kami tetap jawab
kok. Meski asal-asalan sih, yang penting gayanya meyakinkan, wkwkwk. #ditabok
pemirsa
Pertanyaan kedua pun
tidak kalah heboh. Sebutkan film yang diproduseri atau disutradarai oleh Garin
Nugroho. Tetap aja ini anak dua masih kelimpungan. Tapi untunglah yang terjadi
tidak sepenuhnya maaf lahir batin lagi. Di sini Fian bisa sedikit lebih baik
dari Vivi karena dapat menyebutkan salah satu judul filmnya, yaitu Daun di Atas
Bantal. Meski ini orang tidak tahu sama sekali sama ceritanya, ckckck. Bagiku,
film Garin Nugroho yang masih teringat yaitu Rindu Kami PadaMu. Film ini ketika
aku masih SMP dan aku kebingungan dengan loncatan-loncatan plot dari tokoh satu
ke tokoh lain. Syukurlah pertanyaan dari Kang Khoer ini berakhir dan untungnya
kalian tidak disuruh membacakan puisi seperti Kang Khoer ya gaes. Hahahaha.
Pertanyaan dari Kang
Sandza pun aku juga kurang menyimak karena lagi-lagi sibuk kesana kemari. Tetapi
giliran pertanyaan Mas Oke dan Kang Achoey aku memerhatikan. *dasar labil* Tapi
ya udah, sesi ini kita skip aja, karena ini anak dua jawabannya gak smart-smart
amat sih. :v
Setelahnya, sesi grand
final ditutup dengan review oleh Uncle terkait penugasan akhir yaitu membuat
kumcer. Nah, ini anak dua masih aja teledor. Tidak ada satu pun dari mereka
yang memberi naskah dengan judul. Di sini mereka disentil oleh Uncle mengapa
melakukan salah satu hal yang cukup fatal dalam penilaian. Intinya, naskah Vivi
secara garis besar menggambarkan tentang lokalitas, sedangkan naskah Fian
tentang perempuan-perempuan metropolitan padahal sebetulnya ia memunculkan
kesan urban di setiap cerpennya. Di sini nilai Vivi lebih unggul dari Fian.
Memasuki sesi
istirahat, di sinilah aku bisa berkenalan dengan Majenis Panggar Besi aka Ojan,
Uni Novita, Ade, Teguh Afandi, Bu Mimin, Marhamah, Mbak Puji, dan sis Dia. Kami
berbicara satu sama lain hingga akhirnya waktu istirahat, salat, dan makan
selesai.
Ini aku yang ngambil tapi pas mereka posting
posting di medsos tidak ada yang menyatakan taken by Ilham. Mereka ini
mengganggu aku banget lho padahal. Waktu itu aku sedang ngobrol asyik sama Bu
Mimin dan Marhamah. Doraka! :v
Ketemu Ade. Kita sering songong-songongan sih di fb :v
Selanjutnya launching
“Kupu-Kupu Kematian” dan “Mimpi Merah Hari ke-40”. Dipandu oleh Kang Achoey
membuat acara ini semakin semarak. Jadi kontributornya pada ke depan dan
ditanya macem-macem seputar proses kreatif mereka. Vivi juga tampil dan
ber-cas-cis-cus ria depan audience. Kali ini aku melihatnya sudah jauh lebih
lepas dari yang tadi. Karena di sini ada dua kubu, maka masing-masing dari
mereka mempromokan buku-buku mereka.
Then, ada sharing menulis
cerpen dan puisi dari Ken dan Kang Khoer. Sebelum dimulai, Kang Khoer
membawakan puisi dengan properti jilbab putih, bunga sedap malam. Ditambah
haha-hihi suaranya yang memecah keheningan ruangan. Pokoknya horor-horor sedap
gitu deh.
Nah pada sesi sharing,
ini sesi emejing banget. Seorang Ken bercerita tentang perjuangan cerpennya
untuk dimuat di koran Kompas. Katanya itu laksana kau Mendaki Gunung Elbros
yang akhirnya kau sampai ke puncak tertinggi dan merasakan kelegaan yang luar
biasa. Pokoknya spirit Ken ini panutan banget dah. Dan sesi ini juga menjadi
sesi favoritku. Selanjutnya Kang Khoer juga bercerita tentang perjalanannya
menjadi penyair.
Akhirnya result Unsa
Ambassador 2017. Sebelum mengumumkan, Kang Achoey memberikan kesempatan
kepadaku untuk orasi perpisahan. Maka dengan segala rasa haru dan sedih aku
mengucapkan patah demi patah kata hingga semuanya berakhir begitu saja. *mellow
detected* Aku menutup dengan sebuah pantun. Bukannya memahami kesedihanku, para
hadirin malah tertawa terpingkal-pingkal.
Kakek-kakek beli beras,
nenek-nenek beli nasi.
Di akhir jabatan senyum
terkembang jelas, namun sebenarnya menangis dalam hati.
Aku
rasa pantun penutup yang aku lontarkan sudah cukup mewakili apa yang telah aku
sampaikan. Kali ini, selempangku benar-benar terbang seperti yang terlintas di
pikiranku tadi malam. Akan tetapi, terlepas dari rasa sedihku karena tidak lagi
menjabat sebagai Unsam, yang perlu aku garisbawahi dalam penyampaian orasi
perpisahan adalah baik untuk Vivi mupun Fian, makna sebuah kemenangan tidaklah
harus juara. Kemenangan yang hakiki adalah jika kalian menerima apa pun dengan
kepala tegak dan dengan lapang dada.
Ini tak hanya dalam kompetisi, namun juga
dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu dalam menyikapi kehilangan, kepergian
seseorang, dan lain sebagainya. Dan memang, mengutip sebuah kata bijak, dalam
sejatinya hidup, hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.
Kalian telah mempertaruhkan segala sesuatu untuk sampai hingga top 2 ini. Dan
bagiku, kalian telah memenangkan sesuatu yang sulit dijelaskan
di Unsa Ambassaddor 2017 ini.
Finally,
i hope, kalian terus mendukung satu sama lain dalam memajukan Unsa ya, gaes.
Kami para alumni Unsam akan selalu mendukung kalian.
Kalau di Minang ada ungkapan "bapisah bukannyo bacarai" (berpisah bukan berarti bercerai)
Kang Achoey membuat
suasana sedramatis mungkin. Sembari memegang selempang aku mengelilingi dua
orang ini sambil memberikan kata-kata intimidasi. Agar tidak terjadi tragedi
“pemenang yang tertukar” maka Kang Achoey memperlihatkan kepadaku skor akhir
dua finalis. Aku melihat nama Fian tertera sebagai pemenang Unsa Amassador 2017. Maka
ketika dengan lantang Kang Achoey menyebutkan nama Fian menjadi
pemenang Unsa Ambassador 2017, maka aku memakaikan selempang kepadanya.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, dst
Fian menang banyak :v
Sebenarnya foto ini khusus untuk para juri, top 2 unsam, dan uncle sih. Tapi kaga tahu bejimane ceritanye, aku malah nyempil di sini :v
Maka resmi sudah Fian
menjadi pemenang. Aku melihat genangan air mata di sudut mata Vivi. Namun aku
yakin itu bukan air mata kesedihannya karena tidak menjadi pemenang. Aku yakin
ini adalah air mata kebahagiaan dan kelegaan karena perjuangannya di seleksi
Unsa Ambassador 2017 berakhir sudah. Lagi pula tekanan selama menjadi finalis
juga cukup berat. Teruslah bersemangat Vivi. Aku yakin perjuangan kamu tidak
semata berhenti sampai di sini saja.
Ketika Fian
berkesempatan memberikan orasi kemenangan, ia mengucapkan kata sambutan normatif
layaknya yang biasa disampaikan. Lucunya, dia malah menanyakan kepada Vivi apakah mereka masih bisa berteman setelah ini. Aku tertawa dalam hati. Vivi karena lugunya, ketika diberi kesempatan menyampaikan sambutan kekalahan menyatakan bahwa mereka masih bisa berteman. Seperti katanya facebook apa yang Anda pikirkan, aku menjadi berpikir, ini anak dua kapan jadiannya yak? #jadi kepo
Terlepas dari 'insiden' minta jadi teman itu, aku optimis Fian bisa lebih baik dari aku
selama dia menjabat sebagai Unsa Ambassador 2017. Semangat Fian, jika ada hambatan selama menjabat, tenang saja. Itu mah udah derita loe.
Ini Vivi tiba-tiba menjadi tinggi bukan karena dia naik podium atau minum vitamin peninggi badan, bukaan.. Ini karena dalam foto ini Fian sedang menekuk lutut dan itu hanyalah senyum kepalsuan Fian. :v
Aku
tidak terlalu mengikuti euforia kemenangan karena
buru-buru mau salat. Selanjutnya aku beranjak ke atas dan setelah salat bertemu
dengan Ojan dan Uni Novita. Kami kembali mengobrol cukup lama di sini. Ketika kembali ke
bawah, aku juga berkesempatan berfoto dengan sis Dia. Beliau ini finalis nomor
enam juga. Jadi lengkap deh kami finalis nomor 6 dari unsam 2015-2017 ngumpul.
Selanjutnya adalah
bersih-bersih. Ketika ini aku masih sempat-sempatnya nge-cas hp hingga ketika
sudah turun aku baru sadar kalau itu hp masih di atas. Uda Agus yang melihatku
geleng-geleng kepala dan menertawakan kekonyolanku. Setiba di atas, aku segera
mencabut colokan carger dan bersamaan dengan itu mataku melihat sebuah tas yang
tidak asing. Begitu aku dekati, aku tidak sanksi lagi ternyata itu adalah tas
Uda Agus. Sesampai di bawah dan tas itu aku berikan, Uda melongo tak percaya
bahwa ternyata ia juga ketinggalan sesuatu di atas.
Tiba saatnya sahabat
Unsa berpisah. Karena mobil jemputan telah tiba maka kloter pertama pun
berangkat ke penginapan. Aku tidak berada di antaranya. Uncle menyuruh yang
cewek berangkat terlebih dahulu. Maka berangkatlah Ken, Uda, keponakan uncle, Vivi,
dan Nunuk. Ketika kloter pertama ini berangkat, yang lain masih pada memesan
grab car. Rombongan lain yang selanjutnya berangkat adalah rombongan Ojan, Uni
Novita, Ade, dan Teguh. Lalu tinggallah Kang Sandza yang masih ragu memutuskan
apa balik ke Bandung atau tidak, lalu Mbak Puji berserta temannya, Marhamah,
dan sis Dia yang menunggu hujan reda. Beberapa saat, mumpung tidak rame lagi
seperti yang tadi, maka ada sesi foto-foto yang sebetulnya ini agak gimana
kalau dipost. Ini dijepret oleh Kang Khoer yang begitu antusias dengan skenario foto berikut ini.
Don't try at home. Cuma acting.
Foto bareng Mbak Puji dan temannya, Sis Dia, dan Marhamah
Selanjutnya aku dan Mas
Denny merayu Kang Sandza agar ke penginapan kami saja dulu. Nanti kita bisa
sharing-sharing atau apalah gitu. Akhirnya Kang Sandza menyerah karena serangan
yang bertubi-tubi dariku dan Mas Denny. Namun Kang Sandza memberi syarat kalau
besok pagi bada Subuh dia sudah harus berangkat. Apa aja dah, yang penting Kang Sandza nggak pulang tengah malam aje. :v Selama menunggu
kedatangan mobil jemputan yang akan mengangkut kloter dua, aku, Mas Denny dan
Kang Sandza mengobrol seru. Sementara di sudut lain, Fian, uncle, dan Kang
Achoey terlihat berbicara serius. Dugaanku sih, seperti janjinya tadi, Kang
Achoey akan memberikan pelatihan gratis public speaking kepada pemenang Unsa
Ambassador 2017.
Ketika mobil jemputan
tiba, kami pun segera masuk ke mobil. Mbak Dia beserta suaminya dan Fatih masih
menunggu hujan reda, begitu juga dengan Kang Achoey kalau aku tidak salah.
Selama perjalanan tidak ada yang istimewa. Untunglah di sini Kang Khoer tidak
baca puisi lagi seperti halnya ketika sopir SIT Al-Madinah mengantar kami kemarin. Aku
menduga, salah satu penyebab kami tersesat adalah karena suara Kang Khoer yang
membaca puisi membuat siapa yang mendengar seperti tertarik magnet dan
kehilangan konsentrasi. Ini asumsiku sih dan tidak teruji kebenarannya.
Tiba di penginapan,
masih rame. Kami kumpul kembali di ruang televisi sambil menikmati snack yang
tersisa. Karena sehabis acara para penghuni penginapan kebanyakan mendapat
rejeki nomplok berupa buku-buku, maka yang terjadi selanjutnya adalah minta
tanda tangan. Ini berlangsung hingga magrib. Makan malam terakhir menghadirkan
menu yang istimewa yaitu ayam penyet dengan cabenya yang pedas sekali.
Selanjutnya ada yang sibuk packing barang, nonton televisi, dan yang paling
heboh itu adalah kamar depan yang tengah membahas film yang sepertinya cukup
rahasia. Aku tidak bilang kalau judul film itu adalah biru adalah warna
terhangat. :v
Ternyata keesokan hari
adalah maulid. Kompleks serta merta berubah menjadi
gegap-gempita karena bacaan salawat nabi bergema dari corong-corong masjid. Beberapa
dari kami keluar bermaksud mencari oleh-oleh. Maka aku, Ken, Fian, Vivi dan
Nunuk keluar menembus gerimis. Tidak happy ending sebenarnya. Tapi di sini
kembali terlihat kekonyolan Vivi kalau kakinya kembali nyusruk ke lubang
trotoar, dan satu lagi, ia sungguh tidak pandai menyeberang jalan. Persis
seperti yang terjadi kemarin ketika kami sekembalinya salat magrib dan hendak menuju
Mie Janda. Vivi masih sempat ngeles nanti kalau untuk urusan menyeberang kan
ada suami. Lalu Nunuk nanya gimana nanti kalau suami Vivi ke luar kota. Vivi
menjawab ia bisa minta tolong polisi. Ya kali kalo ada polisi, suka-suka lu aja
dah Vi. :v
Kembali ke penginapan, aku
berguru pada Kang Khoer tentang teknik membaca puisi. Kami belajar di kamar.
Sementara yang lainnya sibuk mengobrol dan menonton di ruang televisi. Awalnya
aku membaca puisi terlebih dahulu dan dikomentari oleh Kang Khoer. Pada saat
yang bersamaan Fian muncul dan juga melihatku membawakan puisi. Ketika Kang
Khoer memberi masukan dan berniat memberikan contoh, Fian sepertinya punya
feeling yang tidak enak. Dia serta merta kabur dari kamar dan kembali bergabung
dengan yang lain di ruang televisi. Benar saja. Setelah membacakan bait-bait
puisinya, Kang Khoer kembali tertawa mengerikan seperti siang tadi.
Karena hari sudah malam, nuansa horornya lebih terasa dibanding tadi siang.
Bahkan suara gaduh orang-orang yang sedang menonton televisi serta merta hilang
dan berubah menjadi hening. Mungkin mereka tengah khawatir dengan keadaanku
yang tengah berada di depan pemilik suara haha-hihi yang menyaingi suara
kuntilanak.
Aku belajar dengan Kang
Khoer hingga larut sampai akhirnya memutuskan untuk istirahat. Di luar masih
terdengar cekikikan Mas Denny dan Kang Sandza yang mengobrolkan sesuatu, lalu bergantian
dengan suara Vivi, Nunuk dan Fian yang membicarakan entah apa. Sebelum
benar-benar terlelap, suara salawatan Nabi masih terus bergema di seantero kompleks.
Membayangkan apa yang akan terjadi besok, aku menjadi teringat bait lagu I
don’t know why you said goodbye-Boulevard. Beberapa saat aku mengulang-ulang
lirik lagu itu. Suka sih sama kata-katanya meski inti lagu ini aku nangkepnya
perpisahan seseorang karena kematian. Tapi intinya lagu ini tentang perpisahan.
:v
Besok, aku kembali ke
Padang. Apa kabar Padang?
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar