Salah satu yang
membuatku terkesan dengan keluarga Unsa adalah tidak ada yang memiliki kebiasaan
merokok. Baik itu Uncle DAS, Uda Agus, Ken, Mas Denny, Kang Sandza, Kang Khoer,
Fian, apalagi Nunuk, Vivi, Budok Intan maupun kucing penginapan yang sering
mengeong-ngeong.
Memang ini lebih kepada
pandangan pribadi sebenarnya. Aku sendiri bukannya sok-sok-an tidak suka dengan
rokok, perokok apalagi asap rokok yang bikin ilfil. Almarhum bapak memiliki
riwayat penyakit asma sehingga memang sejak dari dulu aku alergi sekali dengan asap
rokok. Lagi pula, almarhumah ibu juga pernah berpesan agar kelak dewasa nanti, aku
jangan pernah merokok. Well, aku memang sudah yatim piatu sejak kelas 1 SMP.
Bapak meninggal ketika aku masih SD karena asma yang dideritanya dalam usia 63
tahun, dan ibu karena tumor ganas stadium 4 yang menyerang rahimnya dalam usia
55 tahun. Tapi Alhamdulillah aku memiliki empat abang dan tiga kakak yang
sangat perhatian. Mereka juga tidak pernah mengekangku dan selalu mendukung apa
yang aku lakukan. Aku bersyukur hingga saat ini aku masih terus memegang teguh
pesan almarhumah ibu.
Lalu bersama Unsa, aku
bertemu dengan orang-orang yang sadar dan paham bahwa rokok memang banyak
mudaratnya. Barangkali karena menuruti pesan ibu ini pula, aku dikelilingi oleh
orang-orang yang benar-benar baik, tulus dan tanpa pamrih menolong. Salah
duanya sih kayak Fian dan Vivi si Top 2 Unsa Ambassador 2017. Memang sih Fian
dan Vivi kelakuannya kayak Tom and Jerry. Bedanya yang satu ngaku-ngaku ayam,
yang satu ngakunya kecebong :v Tapi actually, mereka baik kok. Baik untuk
diceburin ke laut biar gak berisik lagi. :v
Satu hal lucu yang aku
mengalaminya langsung di Bogor adalah orang Sunda memang agak susah (atau
memang tidak bisa?) menyebut huruf f dan
z. F diganti menjadi p, z diganti menjadi j. Misal : Fina Lanahdiana menjadi
Pinah, Vivi Khlorofers menjadi Pipi Atmosper, Devi Eka menjadi Depi Ulala, Alfian
menjadi Si Pian yang Tega Nian Temenan Sama Ayam. Kalau yang ini suka-suka
penulisnya aja sih. :v
Itu terjadi ketika
waktu itu kami membicarakan Mbak Jazim dan seseorang menyebutnya dengan Mbak
Jajim. Awalnya aku nggak ngeh, apaan itu ‘jajim’. Rupanya ketika dijelaskan, meledaklah
tawa dari kami yang bukan orang sunda. Yang paling besar ketawanya sih Fian :v
Selain itu aku juga besyukur tidak mengenalkan namaku sebagai Fauzi, karena aku
sudah yakin yang akan aku dengar bukanlah ‘fauzi’ tetapi ... (lanjutkan sendiri
deh :v).
Memang di kalangan
keluargaku sendiri, orang-orang terdekatku bahkan Uda Agus memanggilku dengan
Fauzi, atau disingkat dengan Zi. Namun di lingkungan sekolah, kampus atau orang
yang baru pertama kali bertemu, rata-rata mereka mengenalku dengan Ilham. Dan
aku inginnya memang begitu.
Pagi yang terlalu
cepat.
Aku telah bangun
beberapa saat sebelum waktu subuh. Sepi dan hening. Tak ada lagi riuh salawat
menyambut Maulid Nabi dari corong-corong masjid. Dengingan nyamuk amat
mengganggu karena kipas angin dipakai oleh yang tidur di depan tv. Aku
memicingkan mata sejenak membayangkan rentetan perjalanan yang akan terjadi
hari ini. Perpisahan, akhirnya tiba jua waktunya.
Di luar, ternyata juga
sudah ada yang bangun. Uncle yang menyengajakan tidur di penginapan juga sudah
bersiap-siap mengatur sarapan untuk kami. Kang Sandza juga sudah bangun dan
duduk terpekur di depan TV. Beberapa saat sebelum penginapan sibuk dengan
masing-masing orang yang berbenah, aku masih sempat cekakak-cekikik bersama
Kang Sandza dan Mas Denny. Sesuatu yang tak pernah aku duga bisa sedekat ini
dengan duo penulis buku “Bumi Kuntilanak” ini. Kata mereka, kumcer “Bumi
Kuntilanak” adalah buku perdana yang diterbitkan Unsa Press. Perkenalan intensku
pertama kali dengan Unsa adalah karena buku ini. Waktu itu aku mau mengikuti lomba
cerpil Unsa tema mitos dan dongeng kontemporer. Karena perlu kartu member, maka
aku memesan buku ini. Akhirnya berawal dari buku inilah cerita panjangku
bersama Unsa bergulir.
Ternyata segalanya
berubah dengan cepat. Aku yang di hari-hari sebelumnya selalu menjadi yang
pertama mandi, kali ini menyengajakan mandi belakangan karena mengingat Ken,
Vivi, Nunuk, Kang Sandza dan Kang Khoer
yang berangkat lebih dulu. Sementara kloter pertama antre mandi, sarapan berupa
nasi goreng yang dicampur suwiran ayam goreng beserta teh hangat siap disantap.
Aku menikmati sarapan di hari penghabisan ini dengan penuh penghayatan sembari
melihat wajah-wajah lain yang terus mengunyah dengan khusuk. Sebelum berangkat,
Kang Khoer menghadiahkanku sebuah novel terjemahan. Katanya ini apresiasi
untukku karena telah membuka diri untuk tidak belajar cerpen saja.
Snack pagi berupa teh
hangat, oncom, kue cucur, bakwan dan tempe goreng yang akan dirindukan. Terima kasih
sebesar-besarnya untuk keluarga besar Uncle DAS.
Kenang-kenangan dari
Kang Khoer. Hatur nuhun, Kang.
Tapi apa daya, akhirnya
kloter pertama benar-benar telah siap untuk berangkat. Grab cars yang mereka
pesan telah datang dan mereka pun pamitan. Aku melihat mendung di wajah Vivi.
Benarlah kata orang-orang, kalau Vivi ini baper sekali. Sepertinya ia belum
bisa mengakhiri kebersamaan yang cuma beberapa hari, namun sudah tercipta bagai
keluarga sendiri. Kabar yang aku dengar kemudian, begitu mobil keluar dari gang
penginapan, Vivi tak kuasa lagi membendung air matanya. Bahkan, tak lama kemudian air mata Vivi
berubah menjadi butir-butir mutiara. Sopir grab beserta penumpang yang
terdiri atas Ken, Nunuk, Kang Khoer dan Kang Sandza berebutan mengambil mutiara
hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi oleng dan menabrak penjual pakaian
dalam pria dan wanita. (yang dimiringkan cuma fiktif ya gaes, maklum yang
nulis suka ngarang, wkwkwk)
Perpisahan
yang epik
Masih ada waktu sekitar
dua jam untukku, Uda Agus, dan Alfian berkemas-kemas. Sembari mengisi waktu,
kami masih sempat bercakap-cakap dengan Uncle DAS. Mas Denny masih
menimbang-nimbang apa dia akan bareng kami atau tidak. Karena plan dia hari itu
akan ke rumah sakit dan kalau dia bareng kami jam besuknya belum buka. Akhirnya
Mas Denny memutuskan berangkat tengah hari.
Uncle menanyakan
kepadaku apakah aku pumya naskah sekumpulan cerpen yang bertema sama. Karena
cerpenku masih sangat sedikit, maka aku jawab belum. Lagi pula saat ini fokusku
benar-benar sedang terpecah untuk menyelesaikan tugas akhir. Maka Uncle dengan
bijak mengatakan, “ya sudah, selesaikan saja dulu yang betul-betul menjadi
prioritas. Karena begitu kita telah ‘melahirkan’ sebuah buku, kita juga butuh
fokus untuk mengenalkan buku itu ke khalayak ramai.” Aku mengangguk dan semakin
termotivasi untuk harus segera tamat.
Dan tiba pula buat kami
untuk pamitan. Akhirnya aku harus meninggalkan Cibinong. Sampai jumpa Cibinong
dan selamat tinggal untuk segala kenangan yang pernah tergores di sini.
Hello-goodbye
Perjalanan pulang tidak
ada yang dramatis. Sepanjang perjalanan menuju bandara aku merenung bahwa benar
setiap perjumpaan akan diakhiri dengan perpisahan. Aku dulu pernah menanamkan
satu tekad bahwa suatu saat nanti aku harus ke pulau Jawa. Aku yang notabene
adalah anak kampung dan tidak punya satu kerabat pun di Jawa, akhirnya dapat
mewujudkan keinginan itu melalui prestasi di Unsa Ambassador. Aku semakin yakin
bahwa meski impian itu hanya sekali terlintas dalam pikiran, suatu saat nanti
akan ada jalan untuk mewujudkannya. Asal kita yakin kemana arah yang akan
dituju, pasti akhirnya akan sampai.
Totally, grand final
Unsa Ambassador tahun ini tak kalah berkesannya dibanding tahun lalu. Namun ada
sedikit nuansa berbeda yang aku rasakan. Aku tidak bisa bertemu Mbak Jazim yang
biasanya di setiap penobatan Unsa Ambassador akan selalu datang dan memberi kejutan
buku untuk dua finalis. Ternyata Mbak Jazim berhalangan hadir karena keadaan
beliau yang kurang sehat. Alhamdulillah beberapa waktu kemudian kabar dari
beliau menyatakan bahwa kondisinya sudah mulai membaik.
Satu jam lebih berada
di atas bus Damri, akhirnya kami tiba di bandara Soetta. Menunggu sesaat di
luar hingga akhirnya tiba waktu untuk check in. Kali ini aku tidak beribet
seperti kepulangan dari Surabaya tahun lalu. Soalnya ada Uda Agus dan Fian siap
sedia bergantian mendorong trolly ke sana ke mari, hehehe. Meski maskapai yang
kami naiki sama, namun jurusan penerbangan yang berbeda membuat aku dan Uda akhirnya
harus berpisah dengan Fian. Fian mengatakan mungkin dia akan sering
menghubungiku untuk menanyakan tentang program kerjanya sebagai Unsa
Ambassador. Aku mengangguk dan mengatakan tidak masalah. Kami berjabat tangan
erat layaknya kawan yang sudah bersahabat sejak lama.
Penerbangan menuju
pulang untunglah tidak seperti keberangkatan. Hanya saja, karena sedikit
keteledoranku, KTP yang aku keluarkan waktu check in, tidak aku masukkan ke
dalam dompet dan malah diletakkan di saku baju. Pada suatu ketika aku merunduk
membenarkan sesuatu, maka KTP itu pun meluncur dan aku tidak menyadarinya. Saat
itu aku begitu kebingungan mencarinya dan panik karena pada saat yang bersamaan
penumpang sudah menuju pesawat. Untunglah seorang ibu menanyaiku apa mencari
KTP. Aku mengangguk. Lalu ibu itu mengatakan kalau tadi ada seseorang menemukan
KTP dan diserahkan ke bagian informasi. Karena masih dalam suasana panik, aku
segera berlari menuju tempat informasi. Maafkan aku, Bu, karena lupa
mengucapkan terima kasih. Alhamdulillah itu ternyata memang KTPku. Aku segera
menuju antrean. Sementara itu Uda Agus telah menungguku di pintu pesawat dan tidak
menyadari apa yang terjadi denganku barusan. Ketika aku ceritakan, ia hanya
terlongo dan geleng-geleng kepala.
Tidak lama kemudian
pesawat take off. Meski lagi-lagi tak mendapat windows, namun aku lega karena
ditempatkan bersama Uda Agus di bagian yang hanya dua kursi saja. Dekat pintu
darurat lagi sebenarnya, tapi tak apa. Selain tempat kakinya jauh lebih lapang,
juga ada satu pramugari yang duduk di hadapan kami. Kali aja nanti aku bisa
ngobrol-ngobrol dengan sang pramugari lalu membicarakan masa depan kita
sambil melihat awan-gemawan.
Mendekati pukul empat
sore, pesawat landing. Sinar matahari yang tak lagi terik menyambutku. Aku
kembali menginjak Ranah Minang. Tanah yang telah membesarkanku dan tak pernah
meminta imbalan atas apa yang telah ia berikan. Aku segera mengabari Uncle bahwa
kami telah tiba di Padang. Uncle segera merespons dan mendoakan semoga ke
depannya apa yang aku rencanakan berjalan mulus. Setelah mengambil barang di
bagasi, kami segera keluar. Aku merasakan suasana yang berbeda di area
kedatangan bandara ini. Di sini para jasa angkutan sangat ngotot agar kami
menjadi sewanya. Bahkan mereka belum menyerah jika belum ada tanda-tanda
seseorang menjemput kami. Untunglah karena aku dan Uda Agus berbahasa minang,
maka tak perlu lama ‘mengusir’ mereka untuk segera menjauh.
Ternyata travel yang
telah kami pesan sebelumnya sedikit berulah. Ketika aku amati bentuk mobilnya,
terdapat bekas tabrakan sana-sini. Dan yang membuatku heran, nomor plat
mobilnya adalah plat provinsi lain. Aku jadi sanksi kalau ini travel resmi. Dengan
alasan baru tiga penumpang, sang sopir yang terlihat jelas tato menghiasi salah
satu tangannya, meminta tambahan ongkos pulang menjadi Rp. 100.000,- maka mobil
akan langsung berangkat. Langsung saja Uda Agus menolak. Karena sebagai orang
yang sudah sering bolak-balik Jakarta-Padang, tentu Uda paham betul bahwa itu
adalah harga yang hampir dua kali lipat dari harga normal travel tujuan
Padang-Payakumbuh yang normalnya Rp. 60.000,- Lagi pula, biasanya travel yang
memang jurusan Payakumbuh, penuh atau tidak, tetap akan jalan tanpa meminta
uang tambahan pada penumpang.
Aku yang sudah
bolak-balik Padang-Payakumbuh hampir dua tahun, sudah hapal betul dengan
transportasi yang ada di sini. Bahkan aku sering ke sini mengantar teman dan
saudara yang hendak berpergian. Maka sebetulnya kami bisa saja menaiki Damri atau
taksi ke depan lalu meneruskan dengan naik bus ke Payakumbuh dengan ongkos yang
jauh lebih irit, yaitu Rp. 25.000,- per orang. Akan tetapi, karena bawaan cukup
banyak dan hari semakin sore, maka kami memilih yang praktis saja.
Dengan sedikit dongkol,
sang sopir berlalu karena gagal ‘memeras’ kami dan kembali mencari penumpang.
Terpaksa kami menunggu sedikit lebih lama dan akhirnya mobil melaju dengan
ugal-ugalan. Andai aku tidak bersama Uda Agus, maka aku sudah nekat mengambil
keputusan untuk akan berhenti saat itu juga dan pulang dengan bus langganan.
Akhirnya, sekitar pukul sepuluh malam, mobil memasuki kota Payakumbuh dengan
selamat. Aku turun terlebih dahulu dan pamit kepada Uda Agus. Meski rumah kami
jaraknya amat dekat, sama motor lima menit doang paling lama, namun karena
kesibukan masing-masing, tetap saja jarang bertemu.
Aku belum betul-betul
sampai di rumah karena aku menitipkan motor di kedai abang tertua. Rupanya di
kedai yang menjual aneka kuliner dari jagung ini ada yang baru saja membuat
cupcake jagung. Dan aku menganggap ini semacam penyambutan dariku yang baru
saja bersedih hati karena lepas jabatan. #mulai baper
Lewat pukul sebelas
malam, barulah aku pulang dengan motor. Sendiri aja sih, tidak ada yang
menemani. :v Tidak jauh sebenarnya. Hanya 15 menitan. Tiba di rumah, aku
langsung ambruk. Begitu melihat skedul, aku shock. Ternyata besok aku ada
agenda di kampus. Artinya aku harus ke Padang lagi. Padahal ....
Dengan sedikit meringis
aku membolak-balikkan badan hingga akhirnya tertidur sendiri.
-------------------------------
Aku yakin, setiap kita
pasti punya loncatan hidup untuk lebih baik. Dan untukku, ini hanyalah
segelintir dari rencana-Nya agar aku terus bermimpi, berusaha, berjuang tanpa
henti serta memiliki tekad untuk dapat menjelajahi bumi-Nya lebih luas lagi. Ini
barulah sedikit dari bagian perjalanan panjangku mencari arti hidup yang
sesungguhnya.
Berakhir sudah Grand
Final Unsa Ambassador 2017 series ini. Terima kasih untuk kalian yang sudah
mengikuti hingga akhir. Bagi teman-teman yang ingin mengetahui lebih banyak
lagi tentang apa itu komunitas Unsa dan bagaimana menjadi seorang Unsa
Ambassador, email fauziilham58@gmail.com
siap menampung pertanyaan kalian.
Sedikit tips yang bisa
aku bagikan kepada teman-teman yang hendak pelesir ke Sumatra Barat, ternyata
pelayanan transportasi di sini jika kita tidak hati-hati dan apalagi
teman-teman baru pertama kali datang ke Padang, bisa jadi tarif yang ditawarkan
akan tinggi. Di sini belum ada yang namanya grab cars, gojek, atau apalah. Maka
agar lebih amannya, gunakan taksi bandara atau angkutan tranek yang akan
mengantar teman-teman ke Kota Padang dan sekitarnya. Jika ingin mengunjungi
kota luar Padang seperti Bukittinggi, Payakumbuh, atau Pesisir Selatan tempat
beradanya pantai Carocok, Pulau Mandeh, dan objek lainnya yang lagi famous,
maka sebaiknya search dulu biro travelling yang terpercaya. Akan lebih baik
bila didampingi oleh guide yang mahir bahasa minang.
Jika berkunjung ke kota
Payakumbuh, kalian kudu mengunjung kedai kuliner Jagung Manis F1 Aina yang
khusus menjual berbagai makanan dari jagung. Letaknya di Jalan Lintas
Payakumbuh-Bukittingi Jorong Kotobaru Batuhampar Kecamatan Akabiluru Kabupaten
50 Kota. Kalau dari Bukittinggi, sesudah simpang empat Batuhampar sebelah
kanan.
Kebetulan aku di sini
sebagai salah satu waiternya. Tapi jangan sampai salah kedai, gaes. Soalnya
banyak kedai yang serupa soalnya. Kalian bisa berkunjung ke sini, harus
japri dulu kalau mau ketemu.
My brother. Latar foto
adalah kedai tempat aku nongkrong sehari-hari. :v
Pergedel jagung.
Enaknya panas-panas.
Donat jagung. Jadi
adonannya itu dicampur sama jagung yang sudah diblender halus. Jadinya donat
rasa jagung.
Roti goreng isi jagung.
Jadi roti ini isinya jagung dicampur sama kelapa. Tahannya paling lama dua
hari.
Puding jagung
Risoles isi jagung
campur irisan cabe merah
Peyek jagung. Yang ini
asli garing. Biasanya disiram sama kuah cabe merah.
Lepat jagung. Baik untuk pencernaan anak
kecil atau orang tua.
Bakpao jagung, pisang
goreng jagung, donat jagung, roti goreng jagung.
Sumber foto : google. Jadi kawa
daun ini salah satu minuman tradisonal yang berasal dari daun kopi yang
dikeringkan selama 12 jam. Kafeinnya jauh lebih rendah dari kopi biasa. Setelah
daun kopi ini kering, maka direndam dengan air panas. Kawa daun dapat
menurunkan tekanan darah tinggi. Harganya 4-5 ribu rupiah
saja. Ada juga kawa susu. Jadi tinggal ditambahkan susu.
Sebenarnya masih banyak
menu lainnya. Menu andalannya sih jagung rebus manis. Manisnya memang karena sudah
dari jagungnya betul jadi waktu direbus tidak pakai pemanis lagi. Menu lainnya
seperti sop jagung, panada jagung tuna, es krim jagung, cake jagung, dan
makanan kemasan khas jagung. Bisa dijadikan untuk oleh-oleh juga. Harganya sih
rata-rata tigaribu perbiji tiap makanan dan ada yang 3/sepuluh ribu. Untuk pergedel
jagung, satu bijinya Rp.500,- saja.
As cover, ada yang
bikin ngakak setelah digantinya foto sampul Grup Unsa. Silakan bandingkan sendiri. Lol.
(TAMAT)
3 komentar:
Bagus sih,part 1 sampai 4 udah kubaca. Maksa banget kayanya bagian akhir dari part 4 ini. Tapi ya bagaimana lagi.
iya, pengennya mau bikin terpisah. tapi belum ada rencana mau post blog selanjutnya. tapi makasi udah komen. :D
Ini favorit :v btw, itu poto propil lu masi tk ya?
Posting Komentar