Sebelum menjadi Top 2,
sepuluh finalis Unsa Ambassador tiap tahunnya akan ditempa dengan berbagai
penugasan yang susah. Sedangkan seleksi untuk mencari 10 besar sebetulnya juga
tak kalah susah. Admin Unsa yang ditunjuk menjadi Tim Seleksi, akan menyaring
berkas yang masuk. Penilaian mencakup background kandidat, karya berupa cerpen
yang disertakan, cv diri yang dibuat, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Untuk seleksi tahun ini, aku berkesempatan menjadi Tim Seleksi bersama Unsa
Ambassador 2014 dan 2015, kak Eni dan Ken. Dan ternyata, memang alot. Setiap
kami memiliki kandidat masing-masing. Yang membuat perdebatan semakin sengit,
kandidat yang kami pilih masing-masing berbeda. Di sinilah terjadi adu pendapat
dan kelapangan dada untuk menerima pendapat satu sama lain.
Pagi Sabtu, 10 Desember 2016
Technical Meeting
semalam tak urung membuat beberapa dari kami deg-degan. Bayangkan saja, hampir
setiap dari kami akan mendapat jatah untuk perform di depan pelajar SMA yang
kisarannya 50 orang. Aku akan memperkenalkan Unsa selama setengah jam dengan
melibatkan Fian dan Vivi, Ken akan mengisi sesi sharing menulis dengan waktu
setengah jam juga, dan bu dokter Intan akan jadi host pemandu lomba baca puisi.
Meski cuma itu yang diprioritaskan untuk tampil, nyatanya secara dadakan, semua
tim Unsa yang ikut, dapat bagian tanpa terkecuali. Termasuk Kang Denny, Kang
Khoer, Nunuk, Uda Agus, sampai Uncle.
Pagi itu kami
kedatangan keluarga Unsa yang lain. Beliau mengenalkan dirinya sebagai Kang
Khoer Jurzani. Semalam aku mendapat pesan dari seseorang bernama Hoeruddin yang
menanyakan alamat penginapan. Karena inbox yang masuk jam satu dini hari, maka
aku baru menyadarinya ketika bertemu dengan Kang Khoer paginya. Setelah
berkenalan dengan Kang Khoer maka
tak lama Uncle tiba. Aku langsung mengatakan semalam ada seseorang
bernama Hoeruddin yang menanyakan alamat. Tapi tidak tahu dia ada dimana
sekarang. Tanpa menunjukkan keterkejutan, Uncle dengan suara datar mengatakan
bahwa orang yang berada di depanku tak lain dan tak bukan adalah Mas Hoeruddin.
Olala...
Rupanya pihak sekolah
memberdayakan betul kehadiran kami. Aku yang masuk trip pertama datang ke
Sekolah Islam Terpadu Al-Madinah bersama Uncle, Uda Agus, Fian, dan Kang Khoer (kalau tidak salah, sih),
disambut oleh Pak Waris dan Pak Enjang Wijaya. Di ruang yang biasanya digunakan
untuk rapat para guru, kami mengobrol panjang lebar tentang dunia peliterasian
sekitar satu setengah jam. SIT Al-Madinah rupanya memiliki majalah yang terbit
setiap bulan. Hampir semua dari konten majalahnya diisi oleh pelajar tingkat SD-SMA.
Pak Waris juga meminta masing-masing kami memberi masukan untuk majalah ini ke
depannya. Di sini kita juga bertemu Kang Achoey, keluarga Unsa juga,
dimana karya beliau terdapat di buku Genduk bersama Uncle DAS dam Mas Riyanto. Kang Achoey datang bersama
istrinya, Teh Selfi dan dua mujahidnya yang pingin aku cubitin. Hehehe.
Majalah Al-Madinah terbit setiap bulan
Buku Keroyokan Uncle DAS, Kang Achoey, dan Mas Riyanto
Mendekati pukul
setengah sepuluh, kami beranjak menuju aula tempat diadakannya acara. Tim Unsa
langsung berbagi tugas. Ada yang mulai memajang piala di depan, mengeluarkan
buku-buku Unsa yang akan dibagikan secara cuma-cuma, mengeluarkan blangko
penilaian untuk lomba baca puisi, dan lain sebagainya.
Ternyata begitu
rombongan siswa memasuki aula, peserta tak hanya siswa SMA saja, namun digabung
dengan 50 orang lagi siswa SMP. Sehingga totalnya tak kurang dari seratus siswa.
Buku yang Tim Unsa bawa ludes semua dibagikan. Fian yang mulanya udah ngiler
ngelihat buku ‘Satu Hari yang Ingin Kuingat’ dan berharap ada sisanya satu
eksemplar saja harus menelan kekecewaan, hahahaha.
Sebelum memasuki sesi
inti, Pak Waris yang juga seorang motivator mengisi ice breaking terlebih
dahulu. Maka tanpa pernah kami duga, semua Tim Unsa dipanggil satu demi satu
menceritakan kesehariannya menulis. Aku mendapat kesempatan pertama untuk maju
ke depan. Mungkin Pak Waris tertarik dengan penampilanku yang sudah memakai
selempang sejak tadi. Kepadaku, Pak Waris menanyakan mengapa menulis, apa
motivasi menulis, dan pertanyaan ringan lainnya. Ketika giliranku selesai,
berlanjut dengan Nunuk, Fian, Bu Dokter Intan, Vivi, Ken, Kang Khoer, Mas
Denny, Uda Agus, dan Uncle. Yang memoriable banget sih ketika Pak Waris
menanyakan salah satu judul buku budok Intan yang sudah terbit.
Spontan budok menjawab,
“Namamu dalam Doaku.”
Dan Pak Waris langsung GR
(gede rasa) seketika dan menyuruh budok mengulang lagi judul novelnya dengan
alasan kurang kedengaran. Lol. Rupanya hal ini masih berlanjut pada giliran
Vivi. Ketika ditanya salah satu judul novel yang paling berkesan, Vivi menjawab,
Lagi-lagi Pak Waris
menyemarakkan suasana dengan mengesankan judul yang dilontarkan Vivi untuk
dirinya. Memang ya kalau motivator mah sudah tidak diragukan lagi kelihaiannya
mencairkan suasana. Yang bikin ngakak, ketika giliran Mas Denny Herdy menjawab, “Bumi
Kuntilanak.” Dan Ekspresi Pak Waris pun langsung tersurut beberapa langkah ke
belakang. Pokoknya bapaknya ekspresif banget.
Nunuk lagi ditanya macem-macem
Uncle 'diwawancara' :D
Uda in 'action'
Vivi habis mengatakan, "Aku menunggumu~~" kepada Pak Waris #eakk
Selesai Tim Unsa
ditanya-tanya, ada pembawaan puisi yang bikin merinding dari Teh Silvi,
istrinya Kang Achoey. Puisi yang dibawakan teteh adalah puisinya Pak Sutardji
Calzoum Bachri. Teh Silvi ini dulunya pernah memenangkan lomba baca puisi W.S
Rendra. Pokoknya tetehnya topcer deh. Sehabis itu Kang Khoer juga tampil dengan
puisinya yang atraktif. Ini baru permulaan dari hari yang seru.
Selanjutnya Kang Achoey
mengambil alih acara. Dimulai dengan pengenalan komunitas Unsa dan sepak
terjang Unsa dalam mengenalkan literasi ke berbagai sekolah yang ada di pulau
Jawa dan Sumatra. Aku mengisi sesi ini sembari memperkenalkan Fian dan Vivi
sebagai finalis Top 2 Unsa Ambassador 2017. Tidak ada yang terlalu istimewa
selama sesi ini. Selanjutnya giliran Ken mengisi sharing menulis ala dirinya.
Barangkali karena jumlah siswanya yang sampai seratusan dan terdiri dari siswa
SMP dan SMA, Ken cukup kesulitan mengendalikan massa. Syukurlah dengan membuka
sesi tanya jawab sesi ini lebih cair.
Adik-adik, Unsa itu adalah .... bla bla bla
Vivi tengah mengatakan, "Adik-adik, dukung kakak, ya. Caranya dengan ketik ...." :v
Teh Silvi on attraction
Dua mujahid Kang Achoey. Ini pertama kali Kang Achoey melihat Teh SIlvi membawakan puisi.
Kang Khoer in attraction
Pak Enjang
Jarang-jarang lho ada kesempatan emas berdialog langsung dengan Ken seputar menulis
Ken tengah menari-nari di atas penderitaan orang lain :v
Masuklah pada sesi inti
acara ini, yaitu lomba baca puisi tingkat SMP-SMA oleh siswa/i SIT Al-Madinah.
Budok langsung mengambil alih acara. Adapun puisi yang dibawakan adalah puisi
finalis Top 3 Unsa Ambassador, yaitu puisi Fian, Vivi, dan Arrum. Sesi ini
berdurasi sekitar dua jam dengan Teh Silvi, Kang Khoer, dan Pak Enjang sebagai
juri yang memberi komentar. Tim Unsa bekerja cukup repot karena harus langsung
menotalkan skor yang didapat. Tapi akhirnya rangkaian kegiatan ini berjalan
lancar.
Budok lagi jadi 'host'
Dewan Juri
Para peserta yang budiman
The Winner
Selesai acara pembagian
tropi dan paket buku, pihak sekolah langsung “menggiring” kami ke ruang rapat
guru untuk makan siang. Dan menunya adalah... nasi padang. Ketika aku ke
Surabaya tahun lalu maupun ke Bogor kali ini,
pembahasan tentang nasi Padang adalah obrolan yang menarik bagi
orang-orang yang aku temui. Dan bagiku, kalau boleh jujur, (maaf) itu
membosankan sebenarnya, hehehe. Mungkin bagiku yang tumbuh dan besar di Padang,
nasi Padang dan sate Padang bukanlah sesuatu yang terlalu ‘wah’. Barangkali karena
hampir selalu mencicipinya, membuat kesannya menjadi biasa saja. Lagi pula,
kalau di Padang sendiri, jarang orang yang menggunakan embel-embel nasi Padang
atau sate Padang. Namun lebih kepada asal daerah yang terkenal membuat masakan
ini atau pemilik kedai ini, misalnya sate Dangung-dangung, kedai nasi Ni Nam,
dan lain sebagainya.
Selama makan siang
bersama para guru SIT Al-Madinah, kami “dicerca” dengan berbagai pertanyaan
dari para guru. Mulai dari optimisme dalam berkarya, penjiwaaan,
hingga tentang menulis dan prospeknya itu sendiri. Bergantian Tim Unsa menjawab
sehingga obrolan itu pun semakin panjang lebar. Usai makan siang, kami bersiap
untuk pulang.
Suasana sekolah yang asri
Disebabkan mobil
jemputan yang cuma satu, maka pihak sekolah bersedia mengantar satu kloter lagi
ke penginapan. Sehingga kami pulangnya tidak tunggu-tungguan. Aku masuk ke
dalam mobil dari pihak sekolah. Di sana juga ada Teh Silvi yang mau diantar.
Awalnya aku sudah wanti-wanti dengan suara yang cukup keras agar sebaiknya
membuntuti mobil rombongan di depan karena kami para lelaki keren
yang ada di dalam mobil ini buta arah semua. Tapi pak sopirnya kelihatannya
tidak mendengar. Sehingga begitu kami melihat ke belakang melihat keberadaan mobil
Uncle dan rombongan, mereka hilang tak berbekas.
Maka keributan pun
mulai terjadi. Antara pak sopir yang nanya apa arahnya ke sini atau ke situ
(dan jelas tak ada dari kami yang bisa menjawab dengan pasti), lalu seseorang
yang jadi pahlawan membuka google map tapi posisi dia sendiri malah menghadap
ke belakang sehingga penafsiran arahnya jadi terbalik, yang harusnya belok
kanan, malah dibilang kiri sehingga terjadi kerancuan (aku tidak bilang
pelakunya adalah Fian).
Di tengah kebingungan
yang berlangsung hingga setengah jam itu, kami pun sampai pada sebuah jembatan
yang di bawahnya ada sungai kecil. Seseorang berkata di tengah keputusasaan
kami, “Lihat, itu Sungai Citarum!”
Cukup menghibur.
Beberapa dari kami tertawa namun kemudian sibuk kembali melihat palang penanda
arah. Akhirnya setelah pak sopir menanyakan kepada seseorang, kami pun
menemukan jalan yang benar. Hampir jam 2 kami tiba di rumah dan langsung
disambut dengan pertanyaan Ken yang super, “Kalian habis dari planet mana sih?”
Spontan aku menjawab,
“Dari Pluto.” :v
Lucunya, Uncle malah
tidak feeling kalau kami malah tersesat dan mengira kami mengantar Teh Silvi
terlebih dahulu. How poor we are. Salah sendiri
sih, ngapain tidak memberitahu Uncle.
Rencana semula, kang
Achoey berencana mengajak kami mampir ke kedai Mie Janda miliknya sehabis acara
di SIT Al-Madinah. Namun karena beliau ada acara, maka direncanakan nanti sore
kami akan ke sana. Sampai di penginapan, aku langsung salat Zuhur. Beberapa
yang lain ada yang tidur-tiduran namun akhirnya semuanya malah berkumpul di
depan televisi sambil menikmati oleh-oleh yang kami bawa. Budok Intan seperti
rencananya tadi malam, akan ke Jakarta nanti sore karena ada reunian dengan
temannya. Beberapa dari kami masih sempat merayu budok agar membatalkan
rencananya. Namun karena keputusan budok sudah final, terpaksa acara grand
final besok tanpa kehadiran budok.
Sebelum budok Intan
pamit, aku sengaja ‘memborbardirnya’ dengan pertanyaan yang mulanya
ringan-ringan hingga pada pertanyaan yang membuat budok sedikit berpikir.
Karena sepertinya tidak ada yang memulai sesi ini, maka aku pun unjuk bicara.
Awalnya sih seputar tentang kesehatan, lalu pengalaman budok jadi dokter di
Halmahera selama setahun. Intinya budok sendiri sih tidak takut kalau
berhadapan dengan mayat. Yang budok takuti kalau ia melihat kehadiran makhluk
tak kasat mata. Pernah satu kali budok dan temannya satu lift dengan seorang
bapak-bapak dan begitu pintu lift terbuka, bapaknya sudah tidak ada. Intinya
sih, makhluk halus memang ada. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Puncak dari
pertanyaan ini sih, ketika aku menanyakan siapa menurut budok yang pantas jadi
Unsam selanjutnya. Pada bagian ini, budok sedikit mendesah sambil memandang ke
arah Fian dan Vivi.
“Pertanyaan kamu kok
berat banget sih.”
Aku masih ingat budok
melontarkan kata-kata itu sebelum akhirnya ia mengatakan bahwa menurutnya Fian
lebih pantas jadi Unsam selanjutnya. Tentunya dengan alasan bahwa dibanding
Vivi, Fian lebih ‘membumi’. Kalau soal karya, semuanya sama-sama hebat.
Pertanyaan ini aku lontarkaan bukan bertujuan untuk memecahbelah atau
semacamnya. Namun hal seperti ini perlu didengar kedua finalis secara langsung agar bisa
latihan shocktherapy bagaimana ia dapat bersikap jika mendengar pernyataan
seseorang yang barangkali tidak ia senangi.
Setelah itu, aku pun
juga menyampaikan pendapatku tentang siapa yang aku jagokan jadi Unsam selanjutnya.
Meski pada voting aku mendukung Fian, namun setelah bertemu dengan kedua
finalis ini, karakter Vivi menurutku pantas menjadi Unsam selanjutnya. Hanya
saja, memang agar lebih akrab dengan Vivi, harus kita yang lebih dulu aktif
memulai pembicaraan. Berbeda dengan Fian yang cuma disapa sekali, maka dia yang
akan membuat obrolan menjadi panjang. Ken juga memberikan pendapatnya siapa
yang ia dukung. Ken mendukung Fian. Ketika ditanya alasannya, pokoknya ia
mendukung Fian, titik. :v Di sini aku juga menyinggung tentang Maskun yang
akhir-akhir ini lagi populer. Tapi sepertinya tidak ada yang begitu antusias.
Ken pun karena tidak dipancing, malas angkat bicara :v
Gaes, jadi gini... (sesi yang paling heboh)
Barangkali karena lelah
dan mengantuk, beberapa orang yang berada di depan televisi memilih tidur siang dan
beranjak ke kamar dan ruang tamu. Sehingga tinggallah aku, budok, Vivi, Fian
dan Nunuk. Aku bersama Vivi dan budok masih sempat membahas karya mereka yang
masuk dalam antologi Mimpi Merah Hari ke-40. Dimana aku menjadi tim seleksi
bersama Ken. Menjelang Ashar, aku bersegera mandi dan menghindari antre karena
sebentar lagi Uncle pasti akan datang mengajak ke Mie Janda. Karena ada Nunuk
di dalam, maka aku menunggu di dekat dapur sambil mengecas HP. Ternyata pada
saat ini, kekonyolan Vivi kumat lagi. Mulai dari Fian yang meminjam pena yang
malah ia kira minta tanda tangannya, lalu setelah itu Vivi bolak-balik ke sana ke mari mencari
Nunuk yang sedang di kamar mandi dan pada titik kebingungannya. ia malah
menanyakan padaku apa yang tengah Nunuk lakukan di dalam sana. Meledaklah tawa Fian yang mendengarnya.
Budok yang ikut menyaksikan, dengan lirih berkata,
“Vivi,
kamu dalam satu
jam kok bisa berkali-kali eror sih?”
Budok mengucapkannya dengan nada santai dan ekpresi kalem. Tanpa ada terlihat tawa yang tersungging dari bibirnya. Dari sini aku tahu bahwa budok itu karakternya tidak meledak-ledak. Barangkali karena profesinya sebagai dokter yang dituntut untuk tenang dalam berbagai kondisi.
Budok mengucapkannya dengan nada santai dan ekpresi kalem. Tanpa ada terlihat tawa yang tersungging dari bibirnya. Dari sini aku tahu bahwa budok itu karakternya tidak meledak-ledak. Barangkali karena profesinya sebagai dokter yang dituntut untuk tenang dalam berbagai kondisi.
Begitu Uncle datang,
aku sudah siap. Sembari menunggu yang lain berkemas, kami yang sudah ready
untuk berangkat, foto perpisahan dulu dengan budok Intan.
Sampai jumpa budok. Taken by Uncle.
Taken by Nunuk
Fokuslah pada orang samping kiri dan kananku
Semuanya berlangsung
dengan cepat. Hari semakin sore dan perlahan-lahan mendung menjalari bumi
disertai awan yang menggumpal-gumpal. Grab car yang dipesan budok tiba dan
budok pamit terlebih dahulu. Selanjutnya kami menuju Mie Janda dengan grab
car yang dipesan Ken dan Mas Denny. Aku semobil dengan Uncle, Ken, dan Fian dan
kami berangkat lebih dahulu. Perjalanan menuju ke sana sedikit agak lama karena
macet akhir pekan ditambah hujan deras yang akhirnya tumpah. Setibanya di sana,
Kang Achoey telah menunggu dan kami mengobrol sembari menunggu yang lain.
Rombongan kedua tiba bertepatan dengan masuknya salat Magrib. Kami menunaikan
salat Magrib terlebih dahulu lalu kemudian menikmati mie janda.
Kita lagi di Mie Janda, gaes...
Selama dua jam berada
di mie janda, kami mengobrol satu sama lain. Lalu kemudian setelah diakhiri
foto bersama kami pamit. Kang Achoey welcome banget. Ternyata kami masih akan
bertemu dengannya di acara grand final keesokan hari. Kami pulang dan sedikit
terjebak macet karena arus puncak. Aku tidak semobil
dengan Uncle dan Ken. Kali ini Ken mengirimiku pesan apa tidak tersesat lagi.
Untunglah grab car yang kami naiki bertindak dengan baik dan benar
Sampai di penginapan
sudah jam sepuluh. Uda Agus tidak kembali ke penginapan karena diajak temannya
nginap dan langsung menuju ke lokasi acara besok. Penginapan menjadi lebih sepi.
Terlebih lagi Kang Khoer sudah tidur lebih awal sehingga tinggallah aku, Fian,
Vivi, Nunuk, Ken dan Mas Denny. Tapi meski begitu bukan berarti kami langsung
istirahat. Masih terhidang rupanya santapan makan malam yang membuat seluruh dari
kami makan kembali. Kami masih melanjutkan dengan nonton televisi dan bicara
ngalor-ngidul hingga tengah malam.
Akhirnya karena
kelelahan yang tak dapat lagi ditawar, aku pun masuk kamar dan merebahkan diri
sambil memandangi langit-langit kamar. Sebelum terlelap, masih membayang di
ingatanku kelebatan tentang perjalananku menjadi Unsa Ambassador selama setahun
ini. Entah sadar atau tidak, aku berucap lirih, selempangku
akan terbang...
Apakah Fian atau Vivi?
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar