Rabu, 21 Desember 2016

Dari Perut Sumatra ke Ujung Pulau Jawa



* karena di blog ini selanjutnya akan muncul Unsa Ambassador 2017 series, maka sengaja tulisan ini diposting sebagai flashback
**tulisan ini panjangnya menyaingi mini novel. Jadi siapkan cemilan dan minuman

Izinkan saya memulai tulisan ini dengan menyebut beberapa nama.

Jika Bella (Runner Up Unsa Ambassador 2015) menjadikan Kak Eni (Unsa Ambassador 2014) sebagai sosok yang menginspirasinya, maka saya menjadikan tiga nama yang berjuang dari ‘zero to hero’ di Unsa Ambassador musim sebelumnya sebagai inspirasi untuk mengikuti Unsa Ambassador 2016 ini. Mereka adalah : Kak Eni, Mas Ken, dan Bella. Tiga sosok itu adalah inspirasi saya yang kemudian berlanjut menjadi sebuah mimpi bahwa suatu hari saya pasti bisa menjadi finalis Unsa Ambassador seperti mereka. 

Baiklah, impian saya tidaklah muluk-muluk ketika terniat mengikuti Unsa Ambassador 2016 ini. Bukan keinginan untuk menjadi jawara-jawara seperti tiga nama di atas. Tidak sama sekali. Saya melihat bahwa segala event yang dilaksanakan oleh Unsa semata-mata agar penulis pemula seperti saya ini akhirnya menjadi penulis yang tangguh dan tidak mudah menyerah dari sebuah, dua buah, atau berbuah-buah kegagalan. Begitu event Cerpil Unsa 2015 berakhir lalu disambung dengan info pendaftaran Unsa Ambassador 2016, saya pun memantapkan hati untuk ikut mengirimkan persyaratan yang akan diseleksi.

Entahlah, semua ini terjadi tanpa pernah saya duga. Nama beserta foto saya terpampang di Grup Unsa dan mendapat nomor urut 06. Bersanding dengan finalis-finalis lain yang telah aktif dan populer di Grup Unsa. Populer yang saya artikan di sini adalah bagaimana karya-karya finalis yang lain telah wara-wiri di setiap event yang diselenggarakan Unsa. 

Hari itu, begitu sepuluh nama finalis telah resmi diumumkan, seleksi Unsa Ambassador langsung berjalan. Saya yang selama ini menulis cerpen selalu tertatih-tatih, kini harus menyelesaikan sebuah cerpen dalam kurun waktu empat hari. Spirit yang saya tidak tahu darimana datangnya, membuat jari-jari ini menari-nari begitu saja di atas keyboard komputer dan akhirnya tercipta jua sebuah cerpen bertema ‘malam’ dan beberapa hari kemudian menghantarkan saya ke Top 8. Cerpen itu berjudul “Tarian Malam”.

Lalu perjalanan di Top 8 berjalan lebih ‘gila’ lagi. Jika tantangannya tidak menulis genre ini, saya mungkin tidak akan pernah menulis cerpen genre horor komedi yang saya beri judul “Kuntilanak Belajar Move On”.

Genre horor komedi? Ya, dari namanya saja sudah horor. Apalagi dicampur komedi. Lebih ‘horor’ lagi. Dan sebuah ide datang di waktu yang genting itu. Beberapa pekan sebelumnya, baru saja terjadi sebuah kejadian yang memilukan di kota saya. Seorang mahasiswi tertabrak kereta api. Berdasarkan kejadian itu, cerita horor komedi yang saya buat berangkat dari sana dan sebisanya saya balut dengan unsur-unsur komedi. Saya mendapat satu pelajaran berharga di tantangan top 8 ini, bahwa apa pun yang terjadi di sekitar kita saat ini, pada saat yang tidak kita duga akan menjadi sebuah investasi yang berharga bagi tulisan kita. Jadi rajin-rajinlah merekam sebuah kejadian.


Setelah tantangan Top 8, saya semakin melatih diri untuk meningkatkan rasa peka terhadap sekitar dan mencatat hal-hal sekiranya menarik untuk saya jadikan sebagai bahan tulisan di waktu mendatang. Tantangan Top 6 juga tidak pernah saya duga. Menulis cerpen duet. Saya berduet dengan finalis 05 (Tia) dan kami langsung bersepakat membuat outline berdasarkan pada tema yang diminta, ‘satu hari yang ingin kuingat’. Setelah outline dirasa cocok, kami mengerjakan bagian masing-masing dalam waktu dua hari. Dan di top 6 ini saya mendapat pelajaran lebih banyak lagi. Menulis duet tidaklah sama dengan menulis sendiri. Menulis duet kita harus pandai-pandai menahan keinginan diri sendiri dan mengenyahkan pikiran ‘jauh lebih enak menulis sendiri’. Hingga akhirnya sebuah cerpen duet saya dengan Tia berjudul “Blue Sketch” menghantarkan kami ke Top 5 Unsa Ambassador. Alhamdulillah...

Top 5 lagi-lagi menulis cerpen. Tetapi syukurlah memang begitu. Ketakutan saya akan menulis puisi secara utuh tanpa ada embel-embel cerpen untung tidak terbukti. Saya memang sudah lama sekali tidak menulis puisi. Tetapi saya berjanji untuk akan kembali mencoba menulis puisi. Cerpen saya bertema haji yang berjudul “Menanti Kepulangan Ibu” menghantarkan ke top 4 Unsa Ambassador.
Top 4 adalah tahap voting. Perasaan saya mulai tidak enak di putaran ini. Saya rasa inilah akhir dari perjalanan saya di Unsa Ambassador. Bukan pesimis. Realistis saja, barangkali belum begitu banyak sahabat Unsa yang mengenal saya yang karyanya belum pernah muncul di Unsa. Tetapi semuanya berjalan di luar prediksi saya. Teman-teman Unsa yang baru mengenal saya mempercayakan suaranya kepada saya. Sungguh ini sebuah hal yang tidak saya duga. Terima kasih. Sekali lagi terima kasih kepada semuanya yang begitu baik kepada saya.

Top 3 adalah putaran pamungkas menuju grand final. Lagi-lagi saya juga tidak PD. Beban mental yang paling berat saya rasakan di putaran ini. Tetapi dengan menancapkan sebuah target bahwa cerpen ini hanya perlu selesai dalam waktu yang cukup minim, membuat saya untuk tidak memaksakan diri. Hingga pada akhirnya, lagi-lagi saya masih diizinkan untuk melaju. Hasil akhir di Top 3 ini seketika langsung merubah rencana saya beberapa bulan ke depan. Rencana yang tak pernah saya duga bahwa ini akan terjadi di tahun ini. Sebuah rencana besar mengunjungi Pulau Jawa yang belum pernah saya datangi.
***
Semulanya berdasarkan kesepakatan saya dengan Uncle DAS, bahwa saya akan berangkat dari Bandara Sultan Syarif Kasim II Riau ke Bandara Soekarno-Hatta pada hari Jumat tanggal 22, dan meneruskan perjalanan menuju Surabaya dengan kereta Argo Anggrek Malam. Tetapi beberapa hari kemudian ada sedikit perubahan. Keberangkatan saya akan dimajukan beberapa hari. Setelah beberapa hari di Jakarta, akhirnya sesuai dengan tiket kereta, saya berangkat dengan kereta api bersama Uda Agus menuju Surabaya.

Barangkali saya juga merasa perlu untuk menceritakan sedikit tentang Uda Agus yang namanya tidak asing lagi di Grup Unsa. Uda Agus adalah orang pertama (dari kalangan penulis) yang meng-add akun fb saya serta mengirimkan inbox perkenalan pada tahun 2009. Saya sangat terkesan dengan cara beliau yang kemudian juga menginspirasi saya untuk meniru cara berkenalan seperti itu pada teman-teman lain di media fb.

Kebetulan kami satu kota dan sama-sama memenangkan sebuah kuis berhadiah tiket nonton film pada waktu itu. Karena sebab itulah komunikasi terus berjalan hingga akhirnya pembahasan pun melebar ke persoalan tulis-menulis. Saya masih sangat polos mengenai dunia tulis menulis. Sedangkan Uda Agus telah melanglang buana dengan karya-karyanya yang telah bertebaran di media. Kepada Uda Agus saya mengirimkan cerpen-cerpen dengan alur cerita yang sangat datar dan diberi banyak masukan juga motivasi bahwa saya pasti bisa berkarya dengan baik. Belajar dari masukan-masukan yang diberikan Uda Agus, sedikit demi sedikit saya mulai memahami aturan-aturan dalam menulis. Tidak berlebihan rasanya jika pada akhirnya saya menasbihkan beliau sebagai guru saya dalam menulis.

Dan hari itu pun datanglah...
Pagi Sabtu, 23 Januari 2016, kereta Argo Anggrek Malam yang saya tumpangi bersama Uda Agus tiba dengan selamat di Stasiun Pasar Turi, Surabaya, pukul 07.00 WIB. Uncle Dang Aji Sidik, Mas Denny Herdy, Mas Ken Hanggara, dan Mbak Ajeng Maharani telah menunggu kami. Pada hari puncak angan-angan ini, saya bertemu juga dengan sosok-sosok yang luar biasa itu. Uncle DAS--Creator UNSA sekaligus yang telah sabar mengurus keberangkatan saya sampai akhirnya tiba juga di Surabaya--, Mas Denny Herdy—penulis buku Bumi Kuntilanak yang sekaligus juga menjadi juri Cerpil Unsa 2015--, Mas Ken Hanggara—Unsa Ambassador 2015 dengan karyanya yang tengah melejit saat ini--, dan Mbak Ajeng Maharani, finalis 09 yang menemani saya ke grand final Unsa Ambassador 2016.

Kekeluargaan langsung tercipta. Seperti yang diarahkan Uncle sebelumnya, pagi ini kami akan bertolak dari Surabaya menuju Sampang, Madura. Menemani Mas Ken Hanggara mengisi pelatihan menulis di SMA Islam Attaroqqi Tsani. Kami menempuh perjalanan lebih kurang sekitar tiga jam dengan kehebohan. Mbak Ajeng langsung ‘bersoulmate’ dengan Mas Denny dan mereka duduk di bagian belakang. Sedangkan saya ‘bersoulmate’ dengan Mas Ken. Bersama Uda Agus kami duduk di kursi bagian tengah.

Saya baru menyadari ada satu kebiasaan unik yang akan dilakukan oleh penulis yang berbeda domisili jika mereka bertemu. Yaitu kebiasaan ‘transaksi’ atau barter buku/koran yang memuat karya yang bersangkutan. Dan begitulah yang terjadi ketika kami baru duduk di dalam mobil. Saya yang memiliki beberapa koran yang memuat cerpen Mas Ken dan Mbak Ajeng, langsung menyerahkan koran dan begitu juga sebaliknya. Uda Agus juga tidak ketinggalan. Beberapa buku karya miliknya seperti Pukul 6, Rumah Mande, dan Kado buat Ibu & Petualangan Fata di Kerajaan Utara (2 in 1) langsung berpindah tangan. Uda Agus seketika juga menjadi narasumber dadakan tentang keikutsertaan beliau di Ubud Writer and Reader Festival di Ubud-Bali, tahun 2013.

Percakapan di mobil berjalan sangat hangat. Mbak Ajeng adalah seseorang yang pembawaannya sangat riang sekali dan cair. Di mata saya tidak ada tanda-tanda kalau beliau telah berumur 30-an. Tetapi masih jauh lebih muda dari umur yang sebenarnya. Kami membicarakan tentang penulis-penulis yang sedang naik namanya, pemenang yang baru memenangkan lomba ini, sayembara itu, dan berbagai event lainnya. Di sela-sela perbincangan, Mas Denny juga sempat merekomendasikan buku “Orang-Orang Bloomington” karya Prof. Budi Darma untuk kami baca. Katanya buku itu sangat luar biasa sekali dan sayang sekali jika dilewatkan. Pembicaraan pun juga sempat menyinggung-nyinggung tentang Chelsea yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan menarik di status fb Mas Ken. Mas Ken pun kemudian memberi klarifikasi tentang Chelsea secara eksklusif. He he...

Tidak hanya itu, obrolan seru juga terjadi ketika kami membahas tentang pengiriman karya ke berbagai media. Setiap media memiliki selera cerpen berbeda, honor berbeda, dan masa tunggu berbeda. Ada media koran yang berbaik hati menelepon langsung penulisnya dan mengabarkan bahwa karya dimuat lalu mengirimkan honor dan ada pula media yang sebaliknya.
Perjalanan dari Jakarta, Surabaya, lalu menuju Sampang pagi itu adalah perjalanan panjang yang tidak terlupakan. Kali pertama saya melintasi jembatan Suramadu yang selama ini hanya saya ketahui melalui media cetak dan elektronik. Bahkan dulu ketika masih SMA, saya pernah memendam keinginan untuk melihat jembatan Suramadu yang konon merupakan jembatan terpanjang di Indonesia. Sayangnya di sini memang tidak diperbolehkan untuk berhenti karena jalur yang dilewati adalah jalan tol.

Hal unik lainnya yang saya jumpai di sepanjang perjalanan menuju Sampang adalah ketika kami terjebak macet di pasar hewan, Tanah Merah. Meskipun di kota saya juga ada pasar hewan, tetapi pasar hewan di sini rasanya lebih kompleks. Berbagai hewan tampak unjuk gigi dan menunjukkan pesona masing-masing. Salah satu ucapan lucu yang membuat kami tertawa adalah ucapan dari Mbak Ajeng. Katanya hewan yang paling baik budi atau paling sopan adalah entok. Berbeda dengan hewan lain, entok adalah jenis burung yang tidak akan mencatok seperti halnya spesies burung yang lain. Karena paruhnya entok seperti sendok dan memang tidak mendukung ia untuk berbuat demikian.
Gerimis menyambut kami begitu memasuki Sampang. Tiba di SMAI Attaroqqi Tsani, kami telah ditunggu oleh segenap civitas akademika di sana. Pertama sekali kami di sambut oleh Mas Fitero (Anggota Laskar Lelaki) yang telah menunggu keluarga Unsa. Selanjutnya kami disambut oleh Kyai pemimpin yayasan Islam Attaroqqi Tsani. Beliau menerima kedatangan kami dengan penuh rahim (kasih sayang) dan sangat mendukung niat keluarga Unsa berbagi-bagi ilmu tentang menulis. Ucapan beliau sangat menyejukkan ketika beliau menjawab pengantar dari Uncle DAS yang menyampaikan maksud kedatangan kami .

“Ilmu memang harus dibagi-bagi. Jangan takut akan diambil orang lain dan malah disimpan sendiri. Ilmu yang baik adalah ilmu yang dimanfaatkan. Rasul memang tidak bisa menulis, tetapi umatnya harus bisa menulis. Seandainya waktu dulu Rasul bisa menulis, mungkin orang akan mengira Al-Quran hasil tulisan Rasulullah. Tetapi sekali lagi, Rasul tidak bisa menulis. Namun umatnya harus bisa menulis.”

Di lantai dua gedung SMA Islam At Attaroqqi Tsani kami juga disambut oleh salah satu anggota Laskar Lelaki, yaitu Mas Aswary. Saya agak lupa apakah Mas Lian juga turut hadir di sini. Laskar Lelaki adalah sebuah kelompok persahabatan yang beranggotakan lima masker (Mas Keren) yaitu Mas Aswary, Mas Lian Hadinata, Mas Januar, Mas Nanaz, dan Mas Fitero. Mereka berlima sama-sama berkarya dan tumbuh serta berkembang bersama Unsa. Sama seperti umur Unsa yang memasuki 6 tahun, Laskar Lelaki bulan ini juga memasuki umur 6 tahun. Semoga persahabatannya makin awet dan senantiasa kompak dalam berkarya. 

Kami rupanya sudah ditunggu oleh adik-adik dan guru-guru yang akan mengikuti jalannya acara. Di depan tampak spanduk ucapan selamat datang beserta foto Mas Ken yang terlihat gagah memakai selempang Unsa Ambassador 2015. Setelah melalui beberapa kata sambutan, Mas Ken memberi materi menulis tentang cerpen. Saya dan Mbak Ajeng turut duduk di depan dan menyimak. Adik-adik yang saya prediksikan berjumlah sekitar 30 orang mendengarkan dengan antusias. Selesai materi, dibuka tarmen tanya jawab. Saya dan Mbak Ajeng juga sempat kebagian menjawab satu pertanyaan. 

Saya mendapatkan pertanyaan bagaimana cara mendapatkan ide. Pada adik itu saya menjelaskan, bahwa untuk mendapatkan sebuah ide, yang amat dibutuhkan adalah rasa peka. Di dalam ruang kelas pun kita bisa mendapatkan ide. Akan tetapi yang amat menentukan bahwa ide menarik atau tidak dari teknik penulis mengolahnya. Banyak berlatih tentu saja cara ampuh agar tulisan kita dapat lebih baik.
Selesai tanya jawab, dilanjutkan dengan berbagi hadiah buku. Berbagai pertanyaan dilontarkan dan saya pun mendapat jawaban-jawaban yang menakjubkan dari adik-adik di SMAI Attaroqqi Tsani. Mereka benar-benar luar biasa. Dari sebuah pertanyaan yang dilontarkan Mas Ken yang menanyakan arti buku menurutmu, seorang adik perempuan menjawab bahwa buku baginya adalah harta karun. Jawaban yang sangat bagus sekali dan ia pun mendapatkan satu buah buku. Setelah kuis berhadiah buku selesai, dilanjutkan dengan penampilan bakat adik-adik SMAI Attaroqqi Tsani. Ada yang berpidato, membaca puisi, dan vocal group yang membawakan lagu daerah Madura. Saya sangat speechles sekali dengan pembawaan puisi yang penuh penghayatan yang dibawakan oleh seorang adik perempuan. Ketika Mas Ken dan Mbak Ajeng turut memberikan komentar, lidah saya seperti terkunci untuk ikut turut berkomentar. Bahkan saya berani menyandingkan kehebatan adik itu membaca puisi dengan seorang guru yang pernah mengajarkan saya membaca puisi ketika saya masih tinggal di Pekanbaru dulu yaitu Bang Asqalani Nst.

Pukul satu acara selesai. Kami ditahan dulu dan ‘dipaksa’ untuk mencicipi makanan khas Madura oleh Mas Aswary dan Mas Fitero. Air liur saya seperti mau menetes melihat rujak yang terhidang di atas meja dengan dua kuah pilihan. Satu kuah khas madura, dan satu lagi kuah rujak biasa. Begitu mencicipi, kekhawatiran saya akan tingkat kepedasan rujak yang mengerikan kalau di Ranah Minang karena pakai cabe rawit, sirna seketika. Meski rata-rata orang Minang amat menyukai masakan pedas, saya adalah salah satu yang angkat tangan jika pedas yang dimaksud mengikutsertakan keberadaan cabe rawit.

Rujak maknyus dengan kuah yang sangat bersahabat di perut saya barulah makanan pembuka. Oleh Mas Aswary dan Mas Fitero kami masih diharuskan untuk makan siang. Yang berbinar-binar tentu saja Mas Denny. Karena sejak perjalanan dari Surabaya, ia telah menunjukkan ‘keganasannya’ pada sebuah benda bernama makanan dan terus menjadi olok-olokan Mbak Ajeng sepanjang perjalanan. He he...

Selesai makan siang, rencananya kami akan akan langsung bertolak dari Surabaya. Tapi Duo Laskar Lelaki ini (karena hanya ada Mas Aswary dan Mas Fitero) menawarkan dulu untuk mengunjungi ikon-ikon wisata di Madura. Di tengah hujan yang semakin menderas, kami mengunjungi sebuah gua batu yang kemudian saya ketahui bernama Gua Lebar. Saya sempat keluar sebentar bersama Mas Ken namun buru-buru kembali ke dalam mobil. Saya sudah tidak sanksi lagi kalau hujan yang turun saat ini adalah hujan pembawa sakit kepala dan jika tidak hati-hati bisa merusak jalannya acara besok. Mbak Ajeng, Mas Denny, dan Uda Agus masih melanjutkan perjalanan ke dalam gua. Sedangkan saya, Mas Ken, dan Uncle DAS menunggu di mobil. Mbak Ajeng muncul lebih awal lalu disusul Uda Agus dan Mas Denny yang basah kuyup. Uda Agus sempat memamerkan kepada saya fotonya dengan patung Sakera.

Hujan tampaknya semakin menjadi-jadi. Setelah berpamitan dengan Mas Aswary dan Mas Fitero yang turut mengantar ke Gua Lebar, kami kembali menuju Surabaya. Di tengah hujan yang mengguyur, jalanan masih diselingi macet karena hari pasar. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat karena semalam di kereta saya tidak dapat beristirahat optimal.

Menjelang Magrib, kami sampai di hotel Asia. Hotel bercorak tua tapi tetap terawat dan nyaman. Saya sekamar dengan Uda Agus dan Mas Ken. Sedangkan Mbak Ajeng katanya akan ada seorang teman yang akan datang menemani. Setelah berbenah dan berberes, sembari menunggu Magrib, saya, Uda Agus, dan Mas Ken masih sempat berbincang-bincang berbagai hal. Hingga kemudia datanglah teman Mbak Ajeng yang kemudian saya panggil dengan Mbak Dini. Saya kira Mbak Dini masih kuliah Program Sarjana dan hampir mau saya panggil dengan sebutan nama saja. Dan saya terkecoh. Saya bersyukur tidak lancang memanggil nama. Habisnya Mbaknya mungil dan awet muda. He he...
Pukul tujuh malam Uncle DAS sudah menunggu di lobi hotel. Seperti yang telah disepakati, kami akan menuju Mall BG Junction untuk persiapan acara besok. Melewati Jl. Semarang, Mas Ken memberi tahu bahwa tempat ini surganya buku-buku. Tetapi harus pandai-pandai membedakan mana yang buku asli dan bukan. Sesampai di BG Junction, kami makan malam di Pappa Ronz Pizza sambil menunggu kedatangan Mas Denny Herdy, Aiman Bagea (Mas Unsa 2012), dan Mbak Jazim. Mbak Ajeng bertugas sebagai pemesan makanan yang handal. Tak lama kemudian terhidanglah dua loyang pizza, dua piring kentang goreng, dua piring spicy chicken, dan berbagai macam minuman dengan potongan ice cream di atasnya (saya nulisnya sambil keroncongan).

Mas Denny muncul dengan wajah lesu. Sepertinya karena hujan-hujanan siang tadi. Menyusul Aiman dengan pembawaan yang sangat humble, ramah, dan ceria. Mbak Jazim muncul paling akhir dan membuat suasana heboh seketika. 

Sekitar dua jam di Pappa Ronz, kami menuju Ruangan Multifunction, tempat diadakan acara keesokan hari. Sebelum meninggalkan Pappa Ronz, Mas Denny masih sempat dadah-dadah mesra sama chicken spicy dan beberapa potong pizza yang tak sanggup lagi dihabiskan. Pertemuan malam ini salah satu momen yang sangat berkesan. Mas Ken yang duduk di samping saya sempat-sempatnya promosi sebuah ide yang ia dapat dari pemandangan yang tak jauh dari tempat duduk kami. Pemandangan dua orang anak yang tengah duduk namun dibatasi oleh sebuah sekat. Mas Ken membayangkan jika seorang anak bangkit dari duduknya dan melongok ke balik sekat dan mengagetkan anak yang di sebelahnya. Lalu anak yang terkejut cepat-cepat mengadu kepada orang tuanya lalu konflik pun akan terjadi. Saya takjub betapa sang Unsa Ambassador 2015 ini begitu mudah menangkap ide. Sedangkan saya? Alih-alih mendapat ide. Yang ada saya malah ikut heboh foto-foto.

Tidak berapa lama berada di Ruang Multifunction Star, kami pun kembali ke hotel. Saya, Mbak Ajeng, dan Mbak Dini kembali lebih awal. Sedangkan Mas Ken dan Uda Agus menyusul beberapa saat kemudian. Di lobi, saya berpisah dengan Mbak Ajeng dan Mbak Dini. Katanya, Mbak Dini mau membeli cemilan dulu. Saya buru-buru naik ke atas karena belum menunaikan salat Isya. Lantai dua saya dapati amat sepi. Tidak ada siapa-siapa. Di saat itu pula saya tersadar seperti ada hawa lain yang mendiami tempat ini. Sesaat saya terpaku di ujung tangga. Ragu untuk melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam kamar atau tidak. Tetapi akhirnya saya putuskan segera ke dalam kamar dan menunaikan salat. 

Kelelahan dengan sempurna telah menjalari seluruh urat-urat di tubuh. Membuat saya sejenak melupakan aroma lain yang beberapa saat saya rasakan. Uda Agus dan Mas Ken datang setelah saya selesai salat. Saya urung menceritakan apa yang saya rasakan tadi dan memilih membaringkan diri. Mungkin karena keletihan teramat sangat, saya langsung tertidur dan terbangun ketika subuh akan masuk. Mas Ken sudah terjaga lebih awal sepertinya.
***
Seusai Subuh, Mas Ken bercerita kalau tadi malam seperti ada ‘seseorang’ yang mengganggu tidurnya. Seseorang itu membisikkan sesuatu yang Mas Ken pun tidak tahu apa yang diucapkannya. Saya dan Uda Agus menyimak dengan antusias dan tidak percaya. Tapi pembahasan tidak berlangsung lama karena kami akan bersiap-siap ke Tugu Pahlawan. Mas Ken lebih dahulu keluar kamar dan bercakap-cakap dengan Mbak Ajeng dan Mbak Dini di ruang tamu yang ada persis di depan kamar. Tetapi begitu nimbrung, saya langsung mengerti arah pembicaraan mereka. Rupanya rasa merinding yang saya alami tadi malam memang tidak salah. Mbak Dini juga merasakan hal yang sama. Kemudian baru saya ketahui bahwa di lantai tiga, tepat di atas kami, pernah ada kejadian tragis.

Pukul 06.30 kami memasuki lokasi Tugu Pahlawan. Masih terkunci dan kami memutuskan untuk sarapan soto ayam terlebih dahulu (dan baru foto-foto). Selesai sarapan, lapangan Tugu Pahlawan makin ramai oleh orang-orang yang berolahraga di pagi minggu. Dan aksi-aksi narsis pun terjadi. Berbagai pose abstrak diabadikan. Saya dan Mas Ken sepertinya termasuk jenis ‘pemalu’ dalam berfoto. Kami tidak bisa berekspresi dengan lepas seperti yang dilakukan Uda Agus, Mbak Ajeng, juga Mbak Dini. Mbak Dini juga memiliki peranan yang amat penting selama kami mengitari lapangan Tugu Pahlawan. Selain menceritakan tentang seluk-beluk Tugu Pahlawan, Mbak Dini juga bercerita banyak tentang tempat-tempat wisata di Surabaya. Mbak Dini memberikan begitu banyak informasi penting khususnya pada saya yang baru pertama kali mengunjungi Surabaya. Bahkan Mas Ken sampai berujar begini pada Mbak Ajeng,

“Mbak, ini temanmu dapat dari mana? Cocok jadi pemandu wisata.”

Satu jam di Tugu Pahlawan, kami kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk acara hari ini. Pukul delapan, Uncle datang menjemput dan kami telah berkumpul di lobi. Di saat itu saya menyadari bahwa batik yang saya kenakan memiliki corak dan warna yang hampir sama dengan Mbak Ajeng. Kami tiba dua jam lebih awal di tempat acara. Mall BG Junction masih sepi dan lengang dari aktivitas. Kami segera menuju Ruang Multifunction. Mematangkan persiapan acara yang tidak lama lagi akan dimulai. Pukul sepuluh, satu demi satu mulai ramai berdatangan. Saya merasakan debaran di dada saya muncul perlahan-lahan. Tetapi berusaha saya redakan dengan merilekskan diri. Saya dan Mbak Ajeng masih sempat mengobrol seru dengan Aiman Bagea sebelum acara dimulai. Kami membincangkan tentang pemenang-pemenang Unsa Ambassador tahun tahun-tahun sebelumnya. Kepada saya dan Mbak Ajeng, Aiman meminta agar kami terus berkarya. Sosok Aiman yang sangat friendly seperti halnya Mas Ken, memberi gambaran kepada saya beginilah contoh seorang Unsa Ambassador yang sesungguhnya itu.

Beberapa sahabat Unsa lain juga mulai berdatangan. Saya bertemu dua finalis Unsa Ambassador 2016 yaitu Aris Rahman Purnama Putra dan Fariha. Tak lama kemudian juga datang Mas Aris Rahman Yusuf (yang selalu mendoakan dan mendukung saya hingga akhirnya berada di Top 2), Wahyu Wibowo, dan dua temannya lagi yang mengaku sempat tersesat menemukan Ruang Multifunction Star saking luasnya. Wahyu yang datang jauh-jauh dari Yogyakarta tetap semangat dan antusias meski saya menangkap gurat kelelahan di wajahnya. Walaupun baru pertama kali bertemu Wahyu, tetapi saya dapat menilai bahwa anak ini adalah sosok yang humble dan tidak menutup diri dalam berteman. Zi, seorang teman dari Malang yang sebulan sebelum acara sudah saya minta untuk hadir, belakangan juga datang bersama sepupunya. Yang berdatangan pun semakin ramai dan getaran di dada saya semakin memberontak dan sukar untuk ditenangkan.

Tibalah saatnya Mbak Jazim dan Mas Ken membuka acara. Dimulai dengan kata sambutan, hingga akhirnya ketika semua dewan juri mulai menduduki kursi masing-masing. Kenervousan semakin menguasai diri saya. Sebelum saya dan Mbak Ajeng dipanggil ke depan ditanyai berbagai macam hal oleh dewan juri, para finalis Unsa Ambassador semuanya ke depan dan menceritakan kesan-kesan selama mengikuti seleksi Unsa Ambassador. Tidak lupa juga Mbak Jazim dan Mas Ken memanggil Uda Agus dan Mbak Dini untuk ditanyai tentang keseharian saya dan Mbak Ajeng.
Lalu penjurian yang membuat perut saya seperti dikocok-kocok benar-benar terjadi. Mbak Jazim selaku ketua dewan juri, membuka pertanyaan dengan menyebut nama penulis novel The Kite Runner, Khaled Hossaini. Beliau sangat menyukai setting dalam karya-karya yang ditulis Khaled Hossaini. Tugas kami tidak jauh-jauh dari membuat setting secara spontan. Saya kebagian tugas membuat setting hotel Asia. Berbagai kata ambigu meluncur dari mulut saya yang begitu diingat kembali membuat saya mendesah, betapa kata-kata yang saya lontarkan itu sangat konyol.
Selesai Mbak Jazim memberikan pertanyaan, dilanjutkan dengan pertanyaan dari Mas Mashdar Zainal. Beliau memberikan dua tantangan yaitu menebak soundtrack film dan menebak judul cerpen. Dan tantangan itu gagal total saya lakukan. Juri selanjutnya adalah Aiman Bagea. Kami mendapat tantangan membuat fiksi mini tentang hujan. Dan lagi-lagi, puluhan kata ambigu meluncur dari mulut saya. 

Pertanyaan dari Mbak Endang Ssn cukup membuat saya enjoy. Tentang buku terakhir yang dibaca. Selama Desember, begitu Tugas Akhir Unsa berakhir, saya memang menargetkan menamatkan beberapa buku. Hasilnya dua buku roman klasik yaitu Azab dan Sengsara (Merari Siregar) dan Kalau Tak Untung (Selasih) saya selesaikan. Lalu dua novel lainnya Tanah Tabu (Anindita Siswanto Thayf) dan Pulang (Leila S. Chudori). Buku lain yang juga sempat saya selesaikan seperti Argenteuil (Nh. Dini). Saya memilih buku Pulang untuk saya uraikan isinya berikut pandangan saya mengenai buku tersebut.

Tantangan terakhir diberikan oleh Laskar Lelaki yang hari ini datang dengan lengkap. Tantangan pertama adalah mendeskripsikan seseorang yang berada di ruangan ini. Kami diberi waktu tiga menit untuk menjumpai seseorang di ruangan ini lalu kemudian mendeskripsikan orangnya. Mbak Ajeng memilih Mas Denny Herdy dan saya memilih Fariha. Tetap saja di tantangan deskripsi ini saya merasa masih kacau karena berkata-kata mengenai sesuatu yang seharusnya dituangkan melalui tulisan sangat, sangat sulit. Tantangan kedua sekaligus tantangan penutup adalah memberikan alasan mengapa Laskar Lelaki harus memilih kami menjadi Unsa Ambassador 2016. Dalam waktu yang sangat singkat saya menjawab, “karena bagi saya menulis adalah persahabatan.”
Proses penjurian benar-benar telah berakhir. Saya dan Mbak Ajeng dipersilakan kembali ke tempat duduk. Perlahan-lahan kelegaan mengisi ruang dada saya yang tadinya begitu terasa sesak. Saya mengucapkan Hamdalah berkali-kali lalu bergegas untuk salat dan makan siang.
***
Untuk Sahabat atau disingkat Unsa adalah sebuah grup online di media fb yang mewadahi siapun yang mencintai menulis untuk berkarya. Untuk Sahabat digagas oleh Uncle Dang Aji Sidik tahun 2010. Di tahun yang ke-6 ini, Grup Unsa semakin melebarkan sayapnya agar dapat mewadahi semua kalangan untuk berkarya. Baik penulis itu masih pemula maupun memang sudah lama berkarya. Slogan Unsa adalah menggelorakan literasi dalam lingkar persahabatan sejati.
Sedangkan Unsa Ambassador adalah pencarian duta grup Untuk Sahabat yang bertugas mengajak anggota Grup Unsa untuk menulis. Tetapi tidak hanya untuk anggota grup saja, seorang Unsa Ambassador juga bertanggungjawab untuk mengajak siapa saja agar mencintai menulis dan membaca. Dalam ajang Unsa Ambassador, tiap tahunnya diperebutkan sebuah selempang bertuliskan Unsa Ambassador beserta tahun menjabat, Tropi UNSA, Uang Tunai, Paket Buku, dan berbagai apresiasi lainnya. Saat ini adalah pencarian Unsa Ambassador ke-6.

Ajang Unsa Ambassador digelar Grup Unsa sejak tahun 2011 yang diberi nama Mas dan Miss Unsa. Pemenang Mas Unsa dan Miss Unsa tahun 2011 adalah Mas Akhi Dirman Al Amin dan Mbak Arista Devi. Tahun 2012, Aiman Bagea dan Diba Az-Zukhruf. Tahun 2013, Irwan Sandza dan Marlyn Christ. Tahun 2014, Duta Unsa berubah nama menjadi Unsa Ambassador dan dimenangkan Kak Eni (Kutaikartanegara-Kalimantan Timur). Tahun 2015 dimenangkan Mas Ken Hanggara (Pasuruan-Jawa Timur). Selain ajang Unsa Ambassador, ajang lainnya yang konsisten digelar Unsa tiap tahun adalah lomba Cerpen Pilihan (Cerpil) Unsa. Buku-buku pemenang Cerpil Unsa tahun sebelumnya adalah Jendela 2 Mata (2012), Hoppipolla (2013), Netizen (2014), dan Orang Bunian (2015). Tiap tahunnya, buku pemenang ini akan tersebar di seluruh toko buku di Indonesia yang diterbitkan oleh Unsa Press.
Kembali ke acara, setelah jeda salat dan makan siang, acara dilanjutkan dengan sharing kepenulisan yang diisi oleh Mas Mashdar Zainal (penulis buku Alona Ingin Menjadi Serangga) dan Uda Agus (Peserta UWRF 2013). Diskusi berjalan seru. Mas Mashdar membeberkan kriteria-kriteria yang diinginkan agar dapat lolos di cerpil Unsa 2016. Menurut beliau, naskah dengan ide yang bagus akan satu paket dengan kelengkapan naskah itu sendiri seperti penggunaan EyD, margin, font, spasi, dan lain-lain. Beliau menyebutnya dengan naskah matang. Sedangkan pada materi yang disampaikan Uda Agus, UWRF adalah ajang internasional yang diikuti oleh penulis dari berbagai belahan dunia seperti Amerika, Australia, negara-negara Eropa dan lainnya. Untuk mengikuti ajang ini, kita hanya perlu percaya diri dengan naskah yang kita kirimkan. Sebab untuk lolos UWRF hanya perlu ‘kecocokan’ antara kurator dengan naskah kita.

Begitu sesi tanya jawab tentang sharing kepenulisan selesai, dilanjutkan dengan peluncuran buku “Orang Bunian”. Buku “Orang Bunian” diserahkan secara simbolis oleh Uncle DAS kepada pemenang cerpil Unsa 2015 yang hadir saat itu. Begitu peluncuran “Orang Bunian” selesai, tibalah pengumuman Unsa Ambassador 2016.

Saya sudah pasrah dan ikhlas akan hasil yang diumumkan. Bagi saya, pencapaian hingga bisa tiba di Surabaya sudah luar biasa sekali. Begitu pula dengan orang-orang terdekat saya yang mengatakan bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari gelar juara, yakni perjuangan hingga akhir dan bisa berada di dua besar Unsa Ambassador 2016.

Mbak Jazim dan Mas Ken bertugas sebagai pengeksekusi hasil Grand Finale Unsa Ambassador 2016. Mas Ken berdiri di antara saya dan Mbak Ajeng sambil memegang selempang Unsa Ambassador 2016. Mbak Jazim terlebih dahulu membacakan skor dari nilai tugas menulis. Saya sudah tidak ingat lagi berapa jumlah skor yang disebutkan Mbak Jazim. Setelah menghitung mundur dari 10, saya merasakan Mas Ken menyampirkan sebuah selempang ke tubuh saya. Selempang yang bertuliskan Unsa Ambassador 2016 ia sematkan sambil mengucapkan sesuatu, “Kuserahkan tugasku padamu.”
Saya pun menjawab, “Saya terima amanah ini dan semoga bisa membawa Unsa ke yang lebih baik lagi,” karena saya mengucapkannya dalam hati, maka saya yakin Mas Ken tidak mendengar jawaban saya. He he...

Selanjutnya Mas Ken dan Mbak Ajeng berbarengan memberikan selamat. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Selanjutnya dilakukan penyerahan hadiah yang diserahkan oleh Laskar Lelaki, Mas Mashdar, Mbak Jazim, dan Uncle DAS. Khusus dari Mbak Jazim, saya dan Mbak Ajeng mendapat satu paket trilogi Negeri 5 Menara. Meski sudah membaca ketiga trilogi itu, tetapi saya belum memilikinya. Saya membacanya melalui buku pinjaman teman dan di perpustakaan.
Tidak banyak yang bisa saya sampaikan ketika dipersilakan berbicara. Yang mampu saya ucapkan hanyalah sebuah ajakan untuk mari berkarya bersama Unsa dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada segenap Kru Unsa—Uncle Dang Aji Sidik, Mbak Jazim, Mas Mashdar, Mbak Endang SSn, Mas Denny, Aiman Bagea, Laskar Lelaki. Lalu kepada Uda Agus, Mbak Ajeng, Mbak Dini, Top 2 Unsa Ambassador 2015 (Mas Ken dan Bella yang telah membantu saya dalam memberikan referensi tugas akhir UNSAM 2016) dan semua sahabat Unsa yang telah menyempatkan diri datang di acara penobatan Unsa Ambassador 2016.

Sekitar pukul lima sore sudah ada perpisahan. Satu demi satu keluarga besar Unsa berpamitan. Mbak Ajeng yang telah dijemput Papanya berpamitan dan diikuti Mas Ken Hanggara yang juga telah dijemput keluarga. Laskar Lelaki pun sebelum pulang masih sempat menyalami saya dan sekali lagi mengucapkan selamat. Begitu pula dengan Mbak Endang Ssn, Aiman Bagea, Zi, Fariha, Mbak Dini, dan rekan-rekan lainnya berpamitan pulang. Sisanya yaitu saya, Uda Agus, Uncle DAS dan Mbak Jazim masih di Ruangan Multifunction Star melakukan ‘operasi semut’ terakhir. Kami juga masih sempat mengobrol tentang jalannnya acara hari ini bahkan juga menyerempet ke perihal cerpen “Istana Boneka” dan “Angkasa”. Dua cerpen kandidat pemenang Cerpil Unsa 2016 Bulan Januari. Obrolan yang saya tangkap dari Uncle DAS, yang membuat cerpen “Angkasa” terpilih sebagai pemenang salah satunya karena menggunakan riset. Selain itu, tentu masih banyak lagi hal-hal yang membuat cerpen “Angkasa” besutan Mbak Fina Lanahdiana ini unggul dan layak menjadi Pemenang Cerpil Unsa 2016 periode Januari.

Menjelang Magrib kami meninggalkan Mal BG Junction.mbak Jazim memberikan saya kenang-kenangan berupa pin 'stronger than me'. Di lobi saya berpisah dengan Mbak Jazim. Berkali-kali saya mengucapkan terima kasih dan semoga masih dipertemukan Allah di lain kesempatan. Saya dan Uda Agus masih sempat main-main ke rumah Uncle DAS di Jl. Pengenalan dengan naik becak. Seumur-umur baru kali ini saya naik becak. Selepas Isya kami menuju Stasiun Pasar Turi yang hanya lima menit jalan kaki dari kediaman Uncle. Jam 9 malam kereta perlahan-lahan bergerak. Samar-samar saya melihat bayangan hari-hari yang telah saya lalui di Kota Surabaya. Jika sebelumnya ketika kedatangan saya melihat Kota Surabaya dengan sedikit ketegangan, kini begitu meninggalkan Surabaya saya merasakan kelegaan dan keharuan yang bercampur menjadi satu.
Sepanjang perjalanan saya tidak banyak bercakap dengan Uda Agus. Beliau tampak mengerti dengan apa yang saya rasakan dan membiarkan saya larut dalam berbagai perasaan yang membuncah hingga akhirnya saya terlelap dalam kereta yang membawa ke Jakarta.
***
Epilog :
Senin Sore, sekitar pukul lima, saya mendarat dengan selamat di Bandara Sultan Syarif Kasim 2, Pekanbaru-Riau. Saya segera mengabari Uncle DAS, Uda Agus, dan juga Mbak Jazim. Uncle DAS dan Mbak Jazim mengatakan kelegaannya karena saya sudah kembali dengan selamat. Sedangkan dari Uda Agus tidak ada balasan. Saya kira ia memang tidak membalasnya. Saya baru meneruskan perjalanan menuju rumah di Payakumbuh padi hari Kamisnya karena ada beberapa agenda FLP Riau yang perlu diikuti selama beberapa hari. Begitu sudah tiba di Payakumbuh, saya membuka kembali pesan masuk sembari berniat menghapus pesan. Saya dapati pesan dari Uda Agus yang juga mengatakan kelegaannya bahwa saya sudah sampai dengan selamat. Kening saya berkerut. Seseorang telah membacanya. Pikiran saya seketika terbang ke hotel Asia. Tentang sosok perempuan misterius berambut hitam panjang berwajah oriental yang menjadi bahan ‘pergunjingan’ Mas Ken, Mbak Ajeng, dan Mbak Dini. Tiba-tiba saya kembali merinding. Mungkinkah? (TAMAT)

 bersama Ken Hanggara dan Mbak Ajeng sepulang dari SMAI Attaroqi Tsani


wisata gua lebar di Madura. Lagi hujan ini sebenarnya.

makan malam bersama keluarga Unsa di papparonz, Mall BG Junction

pagi Minggu di Tugu Pahlawan. ada Ken, Mbak Dini (teman Mbak Ajeng) dan Mbak Ajeng. Taken By : Uda Agus


Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah








Tidak ada komentar: