Assalamualaikum. Akhirnya aku
berkesempatan lagi mengisi blog ini yang sudah teramat lama vakum.
Awalnya aku tidak
menduga, selepas memenangkan Unsa Ambassador di awal Januari 2016 lalu di
Surabaya, aku bakal diundang lagi ke Bogor dalam rangka pelepasan jabatan. How surprised, tidak
menyangka bakal bertemu dengan keluarga Unsa lagi. Sepertinya aku perlu
menerangkan sedikit tentang acara ini.
Untuk Sahabat atau disingkat
Unsa adalah sebuah grup online di media fb yang mewadahi siapa pun yang
mencintai menulis untuk berkarya. Untuk Sahabat digagas oleh Uncle Dang Aji
Sidik pada 27 Januari 2010. Semakin ke sini, Grup Unsa semakin melebarkan sayapnya agar
dapat mewadahi semua kalangan untuk berkarya. Baik penulis pemula maupun penulis
yang memang sudah lama berkarya. Slogan Unsa adalah menggelorakan literasi
dalam lingkar persahabatan sejati.
Sedangkan Unsa Ambassador adalah
pencarian duta grup Untuk Sahabat yang bertugas mengajak anggota Grup Unsa
untuk menulis. Duta Penulis Unsa ini nantinya juga akan menjadi role model bagi
penulis lain khususnya anggota Grup Unsa. Unsa Ambassador juga bertanggungjawab
untuk mengajak siapa saja agar mencintai menulis dan membaca. Dalam ajang Unsa
Ambassador, tiap tahunnya diperebutkan sebuah selempang bertuliskan Unsa
Ambassador beserta tahun menjabat, Tropi UNSA, Uang Tunai, Paket Buku, dan
berbagai apresiasi lainnya.
Ajang Unsa Ambassador digelar
Grup Unsa sejak tahun 2011 yang diberi nama Mas dan Miss Unsa. Pemenang Mas
Unsa dan Miss Unsa tahun 2011 adalah Mas Akhi Dirman Al Amin dan Mbak Arista
Devi. Tahun 2012, Aiman Bagea dan Diba Az-Zukhruf. Tahun 2013, Irwan Sandza dan
Marlyn Christ. Tahun 2014, Duta Unsa berubah nama menjadi Unsa Ambassador dan
dimenangkan Kak Eni (Kutaikartanegara-Kalimantan Timur). Tahun 2015 dimenangkan
Ken Hanggara (Pasuruan-Jawa Timur). Selain ajang Unsa Ambassador, ajang lainnya
yang konsisten digelar Unsa tiap tahun adalah lomba Cerpen Pilihan (Cerpil)
Unsa. Buku-buku pemenang Cerpil Unsa tahun sebelumnya adalah Jendela 2 Mata
(2012), Hoppipolla (2013), Netizen (2014), Orang Bunian (2015), dan Kupu-Kupu
Kematian (2016). Tiap tahunnya, buku pemenang ini akan tersebar di seluruh toko
buku di Indonesia yang diterbitkan oleh Unsa Press.
Nah, setelah menjadi
seksi repot dalam penyelenggaraan seleksi Unsa Ambassador 2017 (emang sih ini
tugasnya Unsam yang menjabat) akhirnya Uncle mengabariku agar mengosongkan
waktu dari tanggal 9-12 Desember 2016 untuk datang ke Bogor. Dan memang
kebetulan sekali saat itu libur kuliah baru saja dimulai. Yeay....
Tahun lalu, Uda Agus
berkenan menemaniku ke Surabaya karena kebetulan dia sedang menempuh pendidikan
di STAN-Bintaro selama setahun. Karena tahun ini kuliahnya sudah selesai, maka
aku sudah menyiapkan kemungkinan akan datang ke Bogor seorang diri. Tapi
ternyata dan ternyata, beberapa minggu menjelang keberangkatan, Uda memberi
kabar bahwa dia kemungkinan juga akan datang mengingat launching buku kumcer
“Mimpi Merah Hari ke-40” yang ia gagas, diterbitkan oleh Unsa Press dan akan
diluncurkan bersamaan dengan penobatan Unsa Ambassador 2017.
Hari yang
ditunggu datang. Dengan barang bawaan setoko, akhirnya aku dan Uda Agus
tiba di bandara. Sayangnya kami terbang menuju Bandara Soetta dengan maskapai
yang berbeda. Karena dalam rencananya aku yang akan terbang lebih awal 30 menit
dari Uda, maka aku berkewajiban menunggunya. Okeh, Aku Menunggumu~~
Ternyata menunggu
kedatangan pesawat ada drama-dramanya gitu deh. Pesawatku yang tidak diprediksi
sama sekali akan delay, malah delay. Sedangkan pesawat yang akan ditumpangi Uda—yang
terkenal dengan ke-delay-annya—malah datang
tepat waktu. Bahkan sebelum Uda pamit memasuki pesawat, ia masih sempat
mendengar informasi dan tertawa renyah karena pesawat yang aku tumpangi akan
datang dalam waktu yang belum bisa ditentukan. Dan aku pun ditinggal. Jadi
gitu, ok! :3
Penantianku memang
menjadi sebuah penantian yang panjang. Bahkan ketika jatah makan untuk pesawat
delay diberikan, si pesawat tak juga kunjung muncul. Memasuki durasi dua jam,
akhirnya terdengar juga pengumuman bahwa kami dipersilakan memasuki kabin pesawat.
Hampir setengah satu siang barulah pesawat take off. Aku hanya bisa mengeluh
dalam hati bahwa pada saat yang bersamaan tengah berlangsung salat Jumat. Aku
hanya bisa memohon ampun pada-Nya atas
uzur yang dimiliki.
Tidak ada yang istimewa
selama penerbangan. Seperti sebelum-sebelumnya, aku menyaksikan pemandangan
pramugari yang mendemonstrasikan cara memasang dan melepas sabuk pengaman,
memakai pelampung dan meniupnya dengan benar, menggunakan masker untuk
bernapas, menunjukkan dimana toilet dan pintu darurat berada, dan lain
sebagainya. O ya, tak kalah pentingnya awak pesawatnya juga menyediakan
berbagai makanan untuk kami beli. Bagoos. Pop mi doang harganya 25k. Lalu
kopi panas 15k. Pokoknya kalau masalah harga makanan, di atas pesawat harganya
memang juarak!
Tempat duduk yang
kudapati di dalam pesawat, oh... not very well. Middle adalah posisi yang tidak
kuinginkan. Harusnya waktu check in aku meminta untuk diletakkan di windows
atau aishle. Ditambah lagi posisinya bertepatan dengan keberadaan pintu
darurat. Tapi ya sudahlah. Terpaksa mendengar penjelasan tambahan pramugari apa
yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu ada keadaan darurat.
Dan... seberapapun aku
mencoba agar terlelap, tetap tidak bisa. Barangkali disebabkan karena
kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap pesawat ini seperti yang
sering diberitakan di televisi, pikiranku menjadi kemana-mana dan tidak tenang.
Bahkan sempat pula terlintas di pikiranku
akan mengalami sesuatu yang Lisa Reisert alami dalam film “Red Eye”. Oke,
ini berlebihan. Jarak Padang-Jakarta yang tidak terlalu lama sungguh tidak
memungkinkan untuk hal ini terjadi.
Akhirnya pesawat
landing dan aku menggeret koper dengan langkah gontai. Sudah hampir jam tiga
sore aku keluar bandara dan Uda sudah menunggu hampir dua jam lamanya. Langsung saja
kami menuju halte bus Damri yang menuju Cibinong. Sebelumnya aku masih
sempat kontakkan sama Fian, salah satu finalis Top 2 Unsa Ambassador. Kebetulan
dia dari Pekanbaru dan juga akan mendarat di Soekarno-Hattta. Namun melihat
jadwal terbangnya, aku harus menunggunya sedikit lama. Langsung saja kami
putuskan agar Fian menyusul belakangan.
Nyampe Bandara Soetta sudah sore
Sepanjang perjalanan, pandanganku
tak henti-hentinya mengamati kota ini. Jakarta tetaplah seperti setahun lalu
yang aku lihat. Macet, pembangunan gedung yang belum selesai, genangan air dan lain sebagainya
memenuhi pandangan mata. Seperti di atas pesawat, tidak ada hal yang begitu
istimewa. Barulah ketika jam 5 sore, akhirnya aku dan Uda tiba di Cibinong City
Mall. Mulanya Uncle akan menjemput, namun karena Mas Denny Herdy juga
sedang on the way, maka kami ketemuan di CCM dan bertiga menuju tempat
penginapan yang diarahkan Uncle.
CCM pada suatu senja #eak
Seperempat jam menunggu
Mas Denny, akhirnya ia muncul dengan raut wajah kelelahan. Setahun tidak
bertemu, Mas Denny tetap tidak berbeda dengan kegembulan pipi dan kegemukan tubuh
yang ia miliki. Komentarnya waktu pertama kali melihatku, aku lebih gemukan
dari setahun lalu. Tak lama, grab car yang kami pesan datang. Mas Denny tak
henti-hentinya mengeluh sepanjang perjalanan tentang travel yang ia naiki dari
Majalengka. Sopir yang istirahat makan terlalu lama membuat mobil yang ia
tumpangi terjebak macet berjam-jam.
Menjelang Magrib kami
tiba di penginapan. Kebetulan Budok Intan sedang berada di beranda. Ia sudah
datang lebih awal tadi siang bersama Ken. Langsung kami disambut dengan senyum
sumringahnya yang bingung campur heran. Mungkin budok heran orang yang difoto
beda dengan nyatanya. Saat itu Ken sedang menjemput Vivi, finalis Top 2 lainnya
yang datang bersama temannya, Mbak Nunuk. Selepas Magrib barulah mereka datang
dan kami pun silaturrahmi. Ken juga tampak lebih gemukan dari setahun lalu aku
bertemu dengannya. Setelah cerita sedikit
tentang perjalanannya dari Surabaya dengan kereta bersama Intan, ternyata kereta yang ditumpangi Ken
juga berhenti cukup lama tanpa alasan yang jelas. Intinya hampir semua kami
di-php-in transportasi.
Oke, kedatangan Vivi
dan Nunuk ini pun sebenarnya cukup epik. Vivi yang kakinya masuk ke dalam tanah
becek, tidak bisa langsung menyambangi kami namun pergi membasuh kakinya
terlebih dahulu. Nah, ketika dia muncul, entah kenapa, tubuhnya menjadi tidak
seimbang dan dia jatuh berdebam di depan kami. How disappointed, hahahaha. Tapi
akhirnya perkenalan berjalan lancar.
Sebenarnya hidangan
makan malam sudah disediakan. Namun karena Fian masih di jalan, maka kami
putuskan untuk menunggunya. Selidik punya selidik, ternyata Fian di bandara harus menunggu
kedatangan Damri yang menuju Cibinong hampir satu setengah jam lamanya. Ditambah
pula jalanan ketika sore hari sangat macet. Maka jadilah ia paling akhir tiba
ketika hari sudah semakin malam. Aku mengisi waktu dengan mendengarkan Mas
Denny yang begitu antusias memamerkan filmnya kepada Ken. Banyak banget filmnya.
Aku sih tidak terlalu ngeh. Tapi dengan nimbrung di antara kedua orang itu,
tetap mengasyikkan. Apalagi dengan logat sunda Mas Denny dan logat Jawanya Ken
yang sangat jarang kutemukan di Padang.
itu orang dua lagi bahas film seru banget
Sekitar jam 9 malam, Fian datang dan pemirsa pun berteriak senang. Sudah
kelaparan soalnya. Hehehehe. Selanjutnya tidak ada
yang istimewa. Kami makan dengan tertib sambil mendengar seseorang bicara
sekali-sekali. Setelah itu, saatnya technical meeting buat besok. Dan Uncle
merincikan agenda-agenda besok.
technical meeting dan ada yang sadar kamera
grup ibu-ibu sedang menyimak
Sebagai penutup malam
ini, kami masih sempat keluar untuk minum yang anget-anget. Kebanyakan dari kami
memesan susu-madu-jahe. Aku bertindak sebagai juru catat. Tidak sampai satu
jam, kami kembali ke penginapan. Aku memutuskan tidur lebih awal. Sementara yang
lain masih ada yang mengobrol hingga larut dan ada pula yang menonton acara televisi.
wefie by Uda Agus
Intinya besok adalah
waktu untukku menjalankan tugas terakhir sebagai Unsa Ambassador.
Hah? Besok?
How time went so fast.
(BERSAMBUNG)
2 komentar:
Suka bagian yg Vivi masuk tanah becek :v
Muka udah agus lucu banget pas selfie.hahaha..
Posting Komentar